Gadis Kecil Malang
Gadis kecil itu duduk sendiri di pojokan jalan, menjuntaikan kakinya di atas trotoar, dan badannya yang mungil itu tampak menggigil. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Hanya anak pengemis, mungkin. Atau, hanya seorang anak yang kebetulan kesasar dan kehilangan orang tuanya. Bisa saja itu terjadi. Tapi, yang pasti, tidak ada yang peduli dan merasa ingin tahu siapa gadis kecil itu, termasuk diriku. Aku hanya mengamati gadis kecil itu sepanjang malam. Hanya bergeming, tidak melakukan apa-apa. Hanya mengamati. Sudah.
Tubuh gadis kecil yang semula sedang duduk menjuntaikan kaki kini berbaring. Aku masih tetap mengamati sembari jemariku nge-scroll up laman berita skor akhir Real Madrid melawan Juventus. Kuperhatikan sekitar. Benar-benar tak seorang pun peduli melihat anak kecil berbaring. Cukup lama ternyata bus yang biasanya aku tumpangi tak kunjung terlihat. Kuperhatikan gadis kecil itu karena lama tidak ada pergerakan di badannya. Segera aku menghampirinya dan, benar, ternyata ia pingsan.
Aku melihat ke kiri dan ke kanan, berharap ada orang tuanya yang tiba-tiba datang atau siapa pun yang mengenalnya. Dua menit berlalu, ternyata tidak ada tanda-tanda anak ini dijemput. Segera aku menghubungi 112. Nomor darurat wilayah Semarang.
Aku tidak mengerti tentang skenario yang Tuhan buat. Dari awalnya hanya memperhatikan, aku akhirnya membawanya sampai di rumah sakit. Tubuhnya tertutup semua oleh gamis panjang. Kerudungnya yang berwarna merah muda tampak lusuh sudah. Aku menduga gadis kecil ini belum makan pun mandi entah dari kapan. Malangnya, gumamku.
Tak hanya diam di dalam ambulans, aku mencoba mengontak beberapa temanku. Aku bertanya apa yang harus dilakukan jika mengalami kejadian semacam ini. Mereka kebanyakan ternyata tidak mengetahui dan tidak pernah mengalami. Akhirnya, aku berpasrah pada Tuhan dan yang kupikirkan saat ini adalah kesehatan gadis kecil ini harus membaik dulu.
Tanpa kusadari azan Subuh sayup-sayup terdengar. Ternyata aku tertidur di sofa kamar rawat inap. Aku segera bangun dan melangkah menuju masjid. Aku berdoa pada Tuhan supaya diberikan kelancaran dan ketenangan. Gadis kecil itu sudah berganti pakaian. Suster mengganti pakaiannya dengan pakaian rawat khusus anak-anak. Ia terlihat seperti anak-anak pada umumnya. Aku menunggu dokter datang untuk menanyakan kondisinya.
Selang beberapa waktu, aku menunggu sambil memainkan ponsel. Dokter datang bersama suster untuk memeriksa kembali gadis kecil itu. Hingga saat ini aku pun belum mengetahui nama gadis kecil itu. Dokter menjelaskan bahwa gadis kecil itu mengalami kelelahan sehingga ia pingsan. Aku menceritakan kejadian yang kulihat semalam. Dokter pun menyarankan untuk menghubungi pihak kepolisian agar dibantu untuk menemukan orang tuanya.
“Mas, saya bisa membantu untuk menemani adik ini. Mas silakan ke kantor polisi. Kebetulan shift saya selesai setelah ini,” ujar suster yang tiba-tiba menawarkan.
“Dengan senang hati, Sus. Saya Aryo. Terima kasih banyak tawarannya.”
Aku meninggalkan gadis kecil itu dengan tenang karena telah dijaga oleh Suster Fira. Aku mencoba menenangkan diri saat polisi bertanya kronologi kejadian semalam. Segera aku kembali ke rumah sakit setelah laporan tersebut diproses.
“Mas Aryo, tadi Dik Anya sempat terbangun. Dia menangis, kemudian saya berikan susu sampai tidur lagi sekarang.”
“Apa sudah coba untuk bertanya alasan dia ada di trotoar?”
Suster Fira menggeleng. Aku bersyukur setidaknya gadis kecil ini sudah kembali sadar. Kami tinggal menunggu kabar dari kepolisian. Suster Fira bercerita kepadaku bahwa ia memiliki suami yang sedang dinas di pulau terpecil dan seorang anak. Akan tetapi, anaknya sudah meninggal dunia. Suster Fira begitu sedih ketika tadi diceritakan kejadian nahas yang sedang dialami gadis kecil. Ia seperti kembali mengingat begitu sedihnya saat kehilangan orang tersayang. Di tengah-tengah suasana haru itu, tiba-tiba si gadis kecil terbangun.
Aku mencoba memperkenalkan diri. Akhirnya, gadis kecil itu menjawab. Namanya Anya. Aku berusaha untuk membuat Anya nyaman dulu. Maklum, aku orang asing yang dengan tiba-tiba memindahkannya ke rumah sakit. Kulihat Suster Fira begitu telaten merawat Anya. Kami berdua mencoba untuk mengobrol dengan Anya secara hati-hati. Berulang kali mulut Anya menyebut mama dan papa. Aku jadi ingat semalam memperhatikan mulutnya tidak berhenti bicara dan kurasa ia memanggil kedua orang tuanya. Kuajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti alamat, nama mama dan papa, sekolah di mana, dan akhirnya muncul pertanyaan alasan dia berada di trotoar. Sungguh di luar dugaan, Anya menjawab dirinya ditinggalkan oleh seseorang. Anya diturunkan dari mobil oleh laki-laki tua di trotoar dan si laki-laki tua mengatakan pada Anya bahwa nanti akan dijemput oleh mama dan papanya. Aku membayangkan betapa bingungnya Anya saat itu. Pantas saja saat itu ia tidak beranjak dari trotoar. Gadis kecil yang malang itu menunggu tanpa kepastian.
Pihak polisi datang ke rumah sakit. Anya yang sebelumnya tenang mulai menangis karena takut dengan bapak-bapak berseragam. Aku mencoba menenangkan. Suster Fira berbicara perlahan menjelaskan bahwa bapak-bapak ini yang akan membantu Anya bertemu mama dan papanya. Perlahan tangis Anya mereda. Bapak polisi mulai mendekati dan memeriksa keadaan Anya. Pertanyaan-pertanyaan dijawab Anya dengan muka datar. Setelah selesai, kami berbicara di luar ruangan. Baik aku maupun Suster Fira menyerahkan semua keputusan kepada pihak kepolisian. Anya sementara diminta untuk dirawat terlebih dahulu, sambil polisi mencari data-data keterangan dari saksi.
Suster Fira memintaku untuk pulang. Anya akan dirawat di rumahnya saja yang kebetulan hanya ditinggali seorang diri. Aku mengiyakan karena orang tuaku sendiri sudah khawatir dua hari ini anaknya belum kembali ke rumah. Tidak pernah sebelumnya aku mengalami peristiwa seperti ini. Sesampainya di rumah, pelukan hangat dari Mama menyambut kepulanganku.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.