Jeda
Setiap pagi, setelah membangkitkan tubuh dari tempat tidur, menunaikan “panggilan alam”, dan mencuci muka, saya selalu duduk di depan kamar indekos. Waktunya bisa tiga puluh menit, satu jam, atau dua jam, tergantung suasana. Tidak ada yang saya kerjakan, kecuali duduk sambil mengamati sekitar. Objeknya bisa saja tanaman, jemuran, atau tetesan hujan. Apa saja asal ada di sana.
Ketika melakukannya, saya merasa kembali dalam jalan kenyataan. Refleksi-refleksi kecil dalam pikiran membuat saya sadar bahwa relasi dengan tempat sekitar begitu berarti. Saya menjadi bagiannya. Oleh karena itu, saya merasa ada. Dalam istilah filsafat, saya mungkin sedang menemukan si being. Saya menemukannya ketika sedang mengambil jeda.
Bukankah hidup ada perhentian/ Tak harus kencang terus berlari
Padi, “Sang Penghibur”
Berlari memang melatih ketahanan tubuh. Akan tetapi, untuk melakukannya, saya butuh alasan yang lebih kuat. Apa yang saya kejar? Mengapa harus terus berlari? Mengapa harus berlari jika dengan berjalan saja ada lebih banyak hal yang bisa diperhatikan? Berjalan, dalam konteks kehidupan kini yang serba cepat—yang sering diungkapkan dengan istilah berlari, adalah jeda yang mengisi rohani.
Bukankah jeda itu tak asing di telinga kita? Dalam Islam, salat adalah tiang agama. Dan, inti dari salat itu—yang diajarkan oleh guru-guru agama—adalah tenang sejenak. Manusia mengambil jeda dari kehidupan duniawinya untuk mengingat bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari rutinitas yang tak kunjung tuntas. Bahkan, beberapa orang suci menemukan jawaban atas pencariannya ketika sedang mengambil jeda. Dalam ketenangan, mereka mendapatkan pencerahan.
Lo, saya, kok, jadi bahas agama, ya? Hehehe. Baiklah, tak jadi soal. Memang, sungguh tidak mudah membicarakan soal jeda tanpa mengaitkannya dengan hal lain karena ia ada di segala aspek. Bahkan, dalam permainan musik, pembacaan puisi, atau pertunjukan komedi, jeda merupakan bagian penting untuk membentuk keindahan.
Jeda menjadi pilihan terbaik ketika dunia menggaungkan keproduktivitasan tanpa henti. Bukankah produktivitas tak melulu soal menghasilkan sesuatu yang tampak mata? Ataukah mungkin karena produktivitas mengandung kata produk sehingga selalu dikaitkan dengan kebendaan? Padahal, rasa bahagia juga termasuk hasil produktivitas. Bahkan, ia terasa menjadi barang mewah di tengah hidup yang kosong, robotik, dan artifisial kini.
Begitulah sehingga saya tak merasa sia-sia untuk selalu duduk di depan kamar indekos setiap pagi. Bolehlah ditambah secangkir kopi. Atau, bolehlah ditemani belaian istri pada suatu hari nanti. Yang penting heppiii.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.