Kacamata
Engkau tak tahu apa yang terlihat dari mataku dan aku pun tak tahu apa yang terlukis dari matamu karena kita sama-sama berlindung di balik kacamata gelap itu. Ialah kacamata yang menyembunyikan sisi-sisi jati pada diri kita. Kita masih mengira-ngira mana yang kali ini jujur berbicara: mulut ataukah mata, meskipun kita sudah sama tahu indra mana yang lebih kerap berdusta.
Engkau tak pernah membukanya dan aku pun terbunuh perlahan oleh rahasia. Aku membiarkan bayanganmu bermain-main dalam kepala. Engkau tahu mengapa? Itu karena engkau selalu menutupi segala yang nyata di balik kacamata.
Berbeda denganku. Aku pernah mempersilakan mata ini untuk engkau amati sedalam-dalamnya. Di dalamnya ada mata air yang sering kali engkau timba. Ada juga ladang penuh bunga yang isinya engkau petik satu per satu. Alasanmu, engkau senang merangkai-rangkainya. Namun, apa yang engkau rangkai? Hanya jadi karangan-karangan bunga. Engkau siram mereka dengan air mata dari mata airku.
Aku mulai ragu dan lebih memilih menutup mataku. Akan tetapi, menutup mata hanya membuatku berjalan meraba-raba. Aku masih perlu melihat agar aku tak semakin jatuh dalam jurang ketidakmenentuan. Lalu, aku memutuskan untuk menjadi sama sepertimu: menggunakan kacamata gelap. Aku rasa itu jauh lebih adil. Lebih baik kita sama-sama menjadi pertanyaan antara satu dan yang lain.
Kacamata membuat kita terbiasa dengan ketidaktahuan. Itu cukup baik, mengingat ketidaktahuan adalah benteng dari kekecewaan, dan itu sangat baik, mengingat kekecewaan merupakan awal dari ketidakpedulian.
Kacamata membuat kita leluasa menyentuh diri kita yang sebenarnya. Kita tak perlu merasa bersalah atau malu atas ketidakacuhan. Jika aku terjatuh, engkau masih bisa melanjutkan perjalanan dengan alasan bahwa engkau tak melihatku. Engkau tak perlu repot menolong. Sementara, jika engkau bersama yang lain, aku masih bisa melanjutkan perjalanan dengan alasan bahwa aku tak bersedih. Aku tak perlu repot mengiba.
Aku merasa bahwa kacamata juga membatasi pandanganku. Langit pagi jadi tak sebiru biasanya dan langit malam jadi jauh lebih malam. Segala pengamatanku menjadi kesimpangsiuran. Kacamata mengubur kemampuanku. Kacamata mengubur kebenaranku.
Hingga pada suatu titik, aku mulai bosan berkacamata. Aku membiarkan engkau mengamati mataku lagi sedalam-dalamnya. Aku ingin engkau melihat sesuatu yang jujur, meskipun akan terlihat juga sesuatu yang hancur. Aku ingin engkau melihat sesuatu yang bercahaya, meskipun akan terlihat juga sesuatu yang tak berdaya.
Aku mencoba menerima kenyataan bahwa engkau selalu menyembunyikan kenyataan. Aku pun mulai menganggap bahwa kacamata itulah matamu yang sebenarnya. Aku juga mulai terbiasa dengan ketidaktahuan yang engkau sebabkan. Semua itu cukup baik, mengingat ketidaktahuan adalah benteng dari kekecewaan. Dan, semua itu sangat baik, mengingat kekecewaan merupakan awal dari ketidakpedulian.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.