Saya pernah berada pada titik paling fanatik untuk urusan bahasa ketika kelas XI SMA. Suatu hari saya berkata dengan nada agak menyindir kepada seorang guru bahasa Jepang, “Buat apa mempelajari bahasa asing?” Padahal, waktu itu saya berada pada jurusan Bahasa dan guru saya itu begitu baik. Saya berpikir bahwa semua orang seharusnya lebih tekun belajar bahasa Indonesia, terutama yang baik dan benar—yang masih saya artikan sebatas bentuk formal.

Lambat laun, kefanatikan saya luntur. Itu dimulai ketika lulus SMA. Saya mulai menyadari bahwa bahasa-bahasa asing yang saya pelajari selama SMA—Jerman, Jepang, dan Inggris—sangat berharga. Dengan ketiganya, saya dapat mengetahui dunia ini lebih luas meskipun sedikit demi sedikit.

Sewaktu masuk jurusan Sastra Indonesia, saya makin paham bahwa berbahasa itu lebih dari sekadar wujud kebanggaan bernegara. Bahasa Indonesia pun bukan soal baku dan tidak baku saja. Mata saya dibuka oleh pengalaman belajar kebahasaan yang lebih kompleks. Bahkan, saking ingin memahami keluasan bahasa, saya pernah mengambil mata kuliah Filsafat Bahasa dan Bahasa Rusia Dasar. Bahasa Prancis pun saya pelajari meskipun secara mandiri.

Kefanatikan yang saya alami tidak hanya pada bidang bahasa. Saya pun pernah fanatik dalam urusan agama. Hampir tiap hari, juga semasa SMA, saya menonton ceramah para pemuka agama melalui YouTube. Potongan-potongan ayat yang berisi pasal surga dan neraka di Facebook pun saya lahap mentah-mentah.

Namun, hal tersebut redam juga ketika saya masuk jurusan Filsafat. Batu yang menyumbat dalam kepala itu mulai terkikis. Air-air mulai bisa mengalir dan menyejukkan akal dan hati. Saya mulai belajar konsep agama lain dengan lebih matang dan terbuka.

Kini, setelah beberapa tahun kefanatikan itu berlalu, saya dapat menyimpulkan sesuatu: Fanatik adalah suatu tahap ketika seseorang masih miskin informasi. Mungkin ia tidak miskin informasi, tetapi hanya banyak menerima hal yang diyakini atau disukainya—sebagaimana algoritma media sosial yang menjejali kita dengan apa yang kita mau lihat saja. Orang-orang fanatik belum lepas dari gelembung algoritma itu.

Meskipun begitu, menyadarkan orang fanatik tidak dapat melalui pemaksaan. Penyadaran itu harus dengan cara yang sangat lembut. Jika bukan dengan mengajak secara halus, kita hanya bisa menunggu orang tersebut menemukan pencerahannya sendiri.

Yang paling baik adalah menjadi contoh seperti guru bahasa Jepang saya tadi. Ia tidak menjawab pertanyaan saya dengan kata-kata yang keras. Ia hanya menunjukkan bahwa kepiawaiannya berbahasa Jepang telah mengantarkannya untuk pergi ke luar negeri dan berkenalan dengan banyak orang. Selama mengajar pun, ia tidak pernah menganaktirikan saya. Ia begitu sabar untuk membuat saya sadar bahwa kefanatikan bukanlah hal yang benar.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.