Siapa orang yang menaruh Voltaire sebagai filsuf favorit pada daftar pertama? Kalau ada, saya ingin menghadiahinya dengan seratus pertanyaan dan segudang protes. Selain Ida Sundari Husen, penerjemah beberapa karya Voltaire, dan kenalan super saya, Mas Soni, di Indonesia, saya jarang menemukan ada pembaca yang betah menerjemahkan isi kepalanya. Pembaca Voltaire kalah telak dibanding filsuf sesamanya, Immanuel Kant atau John Locke misalnya. Tentu, kalimat sebelum ini adalah kekesalan saya belaka karena jelas tidak ada riset mendasar.

Kawan-kawan di lingkungan saya sempat mencatat dua puluh alasan mengapa mual-mual sering terjadi saat sedang membaca karya Voltaire. Katanya, Voltaire mentah sekali menjelaskan bobot pikirannya. Tidak seperti hikayat lainnya, karyanya hampir tidak ada emosi dan semena-mena. Ya, Tuhan, saya tidak pernah sesepakat ini. Voltaire mengejawantahkan semua ke dalam tulisan yang membingungkan. Tidak mengalir sama sekali. Ia bisa membuat situasi di mana satu tokoh berbahagia dan kecewa dalam satu paragraf. Jangankan satu paragraf, ding. Voltaire bahkan mampu menulis satu kalimat yang membuat hati kita senang dan meluluhlantakkannya pada kalimat berikutnya. Belum selesai mencerna satu konteks, ia bisa dengan cepat memberi kita tugas untuk mengganti sudut pandang. Lewat tulisannya, saya malah berpikir bagaimana bisa seorang pengarang memperlakukan cerita dan tokohnya seperti ini: sangat suka-suka, rusuh, absurd, dan sembarangan.

Hal baik mengenai Voltaire juga membuat saya marah. Argumennya hebat dan kentara. Saking briliannya saya sampai kesal. Balas lewat karya sudah tampak elegan sedari jauh hari sebelum rapper Indonesia mengumandangkannya. Tidak hanya di kalangan pemusik, sebetulnya, adu kritik di kalangan intelektual itu sering terjadi. Voltaire melakukan itu lewat tulisan-tulisannya. Pada kasusnya, ia konsisten mengkritik filsuf asal Jerman bernama Leibniz yang percaya bahwa sesuatu yang buruk itu diciptakan karena ada alasan baik yang melatarbelakanginya. Ketika mengalami hal buruk, pandangan Leibniz akan selalu berkata, “Bukan masalah, semua ada hikmahnya”. Secara persepsi, itu tidak relevan. Optimistis yang tidak perlu dan cenderung irasional. Untungnya, walaupun tulisan Voltaire berantakan, argumen beliau terbaca jelas. Ia sangat mantap berseberangan dengan Leibniz.

Lewat tokoh Zadig dan si Pertapa, tafsir atas pemikiran Voltaire menjadi lugas. Terdapat satu babak penting ketika si Pertapa berubah menjadi wujud dewa dan mengeluarkan sinar dari tubuhnya tepat seusai ia membakar rumah seseorang yang baik hati dan membunuh seorang anak kecil. Sebelum Si Pertapa mengubah wujudnya, Zadig sempat bertanya mengapa melakukan hal keji seperti itu. Si Pertapa menjawab, “Kamu tidak tahu bahwa mereka pantas dibunuh karena akan menyakiti orang lainnya. Percayalah bahwa saya melakukan hal buruk itu karena ada maksud baik setelahnya.” Zadig dipaksa mengerti sesuatu yang belum terjadi. Memang bisa?

Babak penting ini mengingatkan saya pada kisah-kisah artifisial penuh pesan positif. Jawaban Si Pertapa, sebagai cerminan dari pemikiran Leibniz, hanya bisa dipikirkan oleh manusia super sebentuk malaikat. Jawaban yang hanya bisa diterima karena Si Pertapa adalah malaikat suci, sementara Zadig tetap manusia yang menilai dengan nurani dan akal di waktu yang nyata, bukan waktu di depan. Voltaire seperti berusaha memberi tahu bahwa menjadi manusia tidak perlu optimisme buta. Meyakini sesuatu yang belum terjadi membuat pemikiran kita tak tentu arah.

Saya geram karena Voltaire banyak benarnya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.