Saya suka roti lapis (sandwich) dan saya juga suka menulis. Namun, kedua kesukaan itu sebenarnya tidak saling berhubungan. Meski tentu saja perut yang kenyang setelah makan roti lapis dapat melancarkan penulisan karena rasa lapar dapat mengurangi energi dan mengganggu konsentrasi yang diperlukan untuk menulis, bukan itu yang ingin saya ceritakan.

Rainbow Sandwich | COBS Bread

Sandwich adalah makanan yang pada umumnya terdiri atas dua irisan roti yang berfungsi sebagai pembungkus makanan lain (daging, keju, sayuran, dsb.). Kata dalam bahasa Inggris itu diambil dari nama John Montagu, Earl Ke-4 dari Sandwich, seorang bangsawan Inggris abad ke-18, yang dianggap sebagai orang yang memopulerkan roti lapis. Sang Lord Sandwich konon menyukai bentuk makanan seperti itu karena roti melindungi tangannya dari minyak daging ketika makan dengan tangan tanpa garpu. Roti lapis sangat praktis sebagai makanan saat ia bermain kartu. Lagi-lagi, sebenarnya bukan itu yang ingin saya kisahkan.

Susunan roti lapis—yang terdiri atas roti, isi, dan roti—merupakan analogi yang cocok untuk menggambarkan penggunaan pikiran kita sepanjang proses menulis. Roti melambangkan otak kiri yang logis, sedangkan daging melambangkan otak kanan yang kreatif. Proses menulis diawali dengan otak logis untuk merencanakan tulisan dengan matang, lantas diikuti dengan otak kanan untuk menulis dengan kreatif, sampai diakhiri dengan otak kiri lagi untuk menyunting hasil dengan cermat.

Penulisan sejatinya merupakan proses kreatif. Proses kreatif dilakukan terutama dengan bertumpu pada bagian kreatif dari otak, yaitu bagian kanan. Ketika otak logis terlalu banyak mencampuri proses kreatif menulis, tulisan tidak selesai-selesai karena si penulis terus-menerus memperbaiki tulisannya. Coba ingat betapa seringnya Anda menghapus kalimat atau kata ketika terlalu banyak berpikir secara logis dengan otak kiri.

Ini bukan berarti kita menulis tanpa otak. Perencanaan, yang dilakukan sebelum menulis, memerlukan otak kiri agar kita dapat menyusun kerangka dengan baik. Demikian juga dengan penyuntingan yang dilakukan setelah menulis. Bagian logis dari otak diperlukan agar draf tulisan dapat ditelaah secara cermat. Proses intinya sendiri, yaitu menulis, perlu dilakukan tanpa beban dan, sebaliknya, dengan penuh kebebasan kreatif. Inilah yang saya sebut dengan teknik roti lapis untuk menulis.

Berdasarkan pengalaman saya, menulis dengan teknik roti lapis ini dapat mengurangi hambatan penulis (writers’ block). Hambatan muncul karena terlalu banyak berpikir sebelum menulis. Akibatnya, gagasan tidak pernah berwujud nyata dalam tulisan. Gagasan yang tidak tertuang sama saja dengan dusta. Tuangkan dulu gagasan, seberapa pun kasarnya, agar ada bahan untuk disempurnakan. Menata ulang tulisan yang sudah maujud jauh lebih mudah daripada gagasan yang masih abstrak dalam benak.

Tokoh William Forrester dalam film “Finding Forrester” (2000) pernah mengungkapkan hal yang sama. Ia berkata, “No thinking. That comes later. You must write your first draft with your heart. You rewrite with your head. The first key to writing is … to write, not to think!

Ayo, tulis draf pertama dengan hatimu. Jangan terlalu lama berpikir. Itu bisa belakangan ketika menyunting tulisan itu. Sambil menulis, makan roti lapis juga boleh, sih.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.