Hari itu terik matahari membuat saya dan kawan lainnya memutuskan untuk duduk di bangku tunggu lantai paling bawah gedung lama ini. Bawaannya mengantuk karena cerita dosen itu memakan 3 dari 3 SKS.

“Eh, tadi tugasnya apa, ya, Ril?” tanya saya kepada Rilo—kawan yang duduk di sebelah saya.

“Pecha kucha, Na. Yang Ikigai itu. Oiya, Ikigai-mu apa, Na?”

***
Entah sudah berapa lama saya memikirkan banyak hal untuk menyelesaikan tugas ini. Namun, tak ada satu pun kalimat yang selesai. Ketik. Hapus. Ketik lagi. Hapus lagi. Begitu seterusnya.

Kalau dipikir-pikir, tugasnya hanya membuat salindia yang tiap bagiannya berdurasi 20 detik. Namun, idenya itu, lo. Sebelum membuat tugas ini, sudah semestinya saya—mahasiswa—memiliki Ikigai. Setidaknya untuk dipresentasikan di depan kelas nanti.

Menurut Pak Evy—dosen praktisi asal muasal tugas saya ini—Ikigai itu alasan untuk beliau menjalani hidup sampai saat ini. Alasan untuk beliau sebagai manusia bangun pada pagi hari. Alasan kenapa beliau mau menjalankan sebuah kegiatan, yang boleh jadi melelahkan dan menghabiskan banyak waktu. Namun, yang paling saya garis bawahi adalah Ikigai ini mampu membuat beliau bahagia.

Konsep dari Negeri Sakura itu memang menarik. Ikigai mempertemukan titik dari empat komponen penting, yang jika ada satu saja komponennya terlewat menimbulkan munculnya kekurangan yang dirasakan: passion, mission, vocation, and profession.

Ikigai Pak Evy itu membuat gambar dengan ukuran kecil-kecil dan digabungkan. Jika dilihat dari kejauhan, hasilnya bisa menunjukkan gambar dengan bentuk lain. Seniman gambar, singkatnya. Beliau bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk menyelesaikan karyanya itu, tergantung ukuran kertas yang digunakan. Namun, tunggu. Kenapa saya justru menceritakan tentang Ikigai dosen saya? Tugas saya saja belum selesai.

Ayo Hasna, kerjakan! Tubuhmu butuh tidur supaya otakmu bisa istirahat. Akhirnya, saya putuskan untuk menjadikan penulis naskah sebagai Ikigai. Loh, kenapa tiba-tiba penulis naskah? Saya baru ingat ketika pembagian uraian tugas salah satu mata kuliah beberapa waktu lalu. Ternyata saya diminta bertanggung jawab untuk penulisan naskahnya. Tidak ada angin, apalagi hujan.

Ketika saya mengerjakan naskah tersebut, entah kenapa jari ini seolah tak ingin berjauhan dengan papan tik. Entah kenapa juga waktu rasanya baru sebentar meski alunan azan sudah berkumandang berkali-kali. Persis seperti apa yang Pak Evy ceritakan. Saya merasa bahagia.

Saya suka saat harus memikirkan karakter seperti apa tokoh yang terdapat di cerita. Saya suka juga ketika membayangkan kegiatan apa saya yang akan dilakukan sang tokoh. Lalu, yang paling penting, saya bisa mengatur seperti apa cerita ini harus ditamatkan. Pokoknya tidak boleh sedih. Tokohnya harus bahagia.

Akhirnya, saya punya Ikigai sebagai pembakar semangat saya setiap hari. Tambahan, tentunya tugas pecha kucha tentang Ikigai saya selesai.

***

“Pecha kucha, Na. Yang Ikigai itu. Oiya, Ikigaimu apa, Na?”

“Apa, ya? Belum kepikiran kalau sekarang. Kamu sudah tahu memangnya?”

“Belum, nungguin Ikigai kamu dulu.”

“Apa hubungannya?”

“Kalau kamu mau jadi seniman gambar seperti Pak Evy, saya mau jadi layar gawai soalnya.”

“Gimana-gimana?”

“Biar bisa diliatin kamu terus. Hahaha.”

“Hahaha, ada-ada saja.”

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.