Menulis Komedi: Mencari Dewa Lucu
Saya percaya nggak ada satupun hal yang ada di bumi ini yang nggak bisa ditertawakan– termasuk hal-hal yang mungkin tragis atau menyedihkan. Dari dulu saya sudah terbiasa ngetawain hal-hal seperti itu. Dulu, ketika saya masih aktif di komunitas komedi tunggal, saya terbiasa menulis hal-hal yang menurut saya lucu di catatan ponsel. Kadang-kadang, ketika iseng, saya membaca tulisan itu. Bukan karena lucu, tapi karena saya narsis aja. Lebih tepatnya, catatan itu bisa bikin saya mikir:
“Ini lucunya di mana, ya?”
Bagi orang-orang yang suka melucui semua hal seperti saya, sebuah tantangan kalau harus menempatkan tohokan secara cepat dan tepat. Karena selain lucu, efek kejut itu yang kadang jadi biang kelucuan. Saya ingat Pak Ivan pernah menanggapi salah satu “lawakan” saya dengan berkata bahwa ia nggak kepikiran sama sekali atas “lawakan” itu. Saya juga nggak ngerti kenapa. Otak saya otomatis memproses semua hal secara logis dan komedis. Salah satu cara yang saya lakukan untuk mencari kelucuan adalah membuat diri saya sendiri sebagai sumber lelucon dan mencari hal-hal sekitar yang menurut saya lucu.
Cara pertama adalah cara yang paling mudah. Biasanya ada beberapa orang yang iseng ngeledek saya. Daripada saya marah-marah karena diledek, lebih baik “bola” ledekan itu saya juggling dan tendang balik biar jadi sumber lelucon. Cara ini lumayan sering berhasil dan yang paling penting, nggak akan ada yang tersinggung. Saya bukan artis terkenal yang kalau idolanya diledek, fansnya yang berontak. Siapa pula yang akan ngefans dengan makhluk semi-moluska seperti saya.
Cara kedua ini biasanya saya dapat dengan jalan-jalan. Sadar atau nggak, setiap saya ke luar rumah, ada aja salah satu hal yang ketika di rumah lagi, saat saya lewah pikir, muncul pikiran, “Kok lucu juga, ya, kelihatannya.” Saya punya satu lawakan menarik yang saya dapat ketika mau parkir motor.
“Kita sebagai manusia itu selalu maunya buru-buru. Contohnya pas lampu merah. Belum ada 0,00002 detik ketika lampunya jadi hijau, di belakang selalu udah ada yang klakson buat nyuruh. Saya juga nggak tuli, kali. Cuma buta warna aja.
Contoh lainnya pas ke parkiran. Kalo kita mau ambil struk parkir, kan pasti ada mbak-mbak yang ngomong dari mesin parkir, kurang lebih begini “Selamat datang, sila–”. Nah, biasanya belum selesai ngomong “sila–” kita udah keburu nekan tombol parkirnya. Coba bayangin gimana perasaan mbak-mbak itu? udah latihan buat ngomong, belum selesai udah diselak. Kita ‘kan nggak tau juga kalo ternyata dia ngomong yang penting. Jangan-jangan, sebenernya dia ngomong “Selamat datang, sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia””.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.