Ketika kecil, saya sering mendengar pertanyaan, “Cita-cita kamu mau jadi apa?”. Saat itu, jawaban saya sama seperti anak-anak lain, yaitu antara menjadi dokter, presiden, polisi, atau penyanyi. Jawaban tidak serius itu berlanjut hingga kelas 5 SD. Suatu hari, sekolah saya mengadakan kunjungan ke Sekretariat ASEAN di Kebayoran Baru. Kunjungan tersebut sangatlah melekat di memori saya. Pada tiap sudut ruangan, saya melihat orang-orang berpakaian rapi sambil memegang dokumen atau sedang berjalan cepat dari satu ruangan ke ruangan lain agar tidak terlambat. Ketika memasuki ruang rapat, saya disambut oleh salah satu staf ASEAN yang menjadi narasumber selama kunjungan berlangsung. Saya lupa nama staff tersebut, tetapi saya dapat mengingat pembawaannya yang sangat berwibawa, santai, dan cerdas. Saya terkesan sekali dengan kunjungan tersebut. Sejak saat itu, saya mulai bercita-cita menjadi seorang diplomat atau bekerja di organisasi Internasional.

Untuk mencapai mimpi tersebut, saya sejak kecil sudah melakukan aktivitas sekolah yang mendukung terwujudnya mimpi saya. Semua rencana berjalan dengan lancar. Namun, jalan yang saya gambar dengan lurus pun “berbelok” dengan sendirinya. Pada titik itu, semua usaha yang sudah saya lakukan pun hilang tak berbekas. Mimpi saya pun hanya tinggal mimpi.

Saya akhirnya melanjutkan aktivitas sehari-hari seperti biasa. Apabila ada yang bertanya kepada saya, “Apa mimpimu?”, saya tidak punya jawaban pasti. Pertanyaan itu membuat saya bertanya-tanya, apakah tidak memiliki mimpi yang spesifik itu buruk?

Meskipun saya tidak memiliki mimpi yang jelas, saya tetap berjalan, berlari dari satu organisasi ke organisasi lain, dan pindah ke berbagai macam kepanitiaan dan perusahaan. Semua itu saya lakukan untuk menemukan mimpi saya. Keseringan berpindah tempat memberi kesempatan untuk bertemu dengan berbagai macam orang yang memiliki ideologi dan sudut pandang yang berbeda. Bertemu dengan orang-orang ini membuat saya kagum sekaligus iri. Sebab, mereka tahu persis apa yang mereka sukai dan perjuangkan meski mimpi mereka terkadang bukanlah sesuatu yang dianggap besar dan hebat oleh orang lain. Hal tersebut membuat saya belajar bahwa pemahaman dan standar mimpi saya mungkin terlalu tinggi. Oleh karena itu, saya sedang dalam proses mencari mimpi, baik itu besar atau kecil, dan menyimpannya hingga akhir.

Hingga sekarang, kekurangan mimpi masih menimbulkan rasa ganjal pada diri saya. Akan tetapi, saya menjadi paham bahwa mimpi itu tidak harus besar dan hebat. Mungkin, standar mimpi yang diajarkan saat kecil mempersulit saya dalam menerima keadaan dan pencapaian yang tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu, saya akan terus berjalan dengan mimpi-mimpi kecil dan menjaga mimpi-mimpi itu hingga ia berkembang dan menjadi kenyataan.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.