Sabtu, 19 September 2020. Saat itu, saya sedang berada di hotel tempat orang tua saya menginap. Pada malam sebelumnya, sebenarnya mereka sempat menginap di indekos saya. Namun, sepertinya indekos itu memang seharusnya hanya diisi oleh satu orang sehingga tidak cukup nyaman ketika dijadikan tempat tidur untuk kami bertiga.

Malam itu, Ibu saya tiba-tiba minta dibelikan tahu campur—kuliner khas Jawa Timur yang entah dari mana ia ketahui.

“Kak, belikan Mama makanan yang hangat-hangat, dong. Tahu campur kayaknya enak,” ujar Ibu saya sambil mengganti saluran televisi di kamar hotel.

Tanpa banyak komentar, saya langsung bergegas mencari kunci motor dan berjalan ke tempat parkir. Hotel itu terletak tepat di depan Grahadi, Kantor Gubernur Jawa Timur. Di tempat parkir terlihat beberapa orang sedang berdiam di tenda dan dapur umum. Saat itu, beberapa mantan karyawan sedang berdemo menuntut pihak hotel untuk membayarkan hak-hak mereka. Hotel merupakan salah satu usaha yang terdampak pandemi dan mungkin karena itu hak-hak pekerja belum ditunaikan secara utuh.

Saya menyusuri jalanan malam di Surabaya. Lewat dari depan Grahadi, belok kiri melewati patung Jenderal Sudirman, belok kanan melewati Mal Grand City Surabaya, lurus melewati Jalan Dr. Soetomo, hingga sampai di Jalan Dharmawangsa Dalam. Jalan-jalan yang mungkin tidak akan saya lewati lagi untuk beberapa hari ke depan.

Setelah kurang lebih lima belas menit perjalanan, saya sampai juga di tempat penjual tahu campur yang berlokasi di Pasar Pucang. Suasanya terasa aneh sekali. Biasanya, sepanjang Jalan Dharmawangsa banyak penjual kaki lima yang menjajakan tahu campur atau soto—alternatif makanan yang diinginkan Ibu saya jika tahu campur tidak ada. Namun, malam itu suasananya cenderung sepi. Menyisakan sebuah kedai kopi dengan pembelinya yang cukup menjamur di kawasan Dharmawangsa—kawasan yang hanya berjarak beberapa meter dari kampus saya.

“Tahu campur setunggal, Pak,” ujar saya dengan bahasa Surabaya ala kadarnya. Selama hampir lima tahun di Surabaya, saya sudah cukup bangga dapat mengerti beberapa kosa kata bahasa Surabaya. Walaupun, kata teman saya pengucapan saya aneh. Namun, tak apa-apa. Namanya juga belajar, ‘kan?

Saya duduk di bangku panjang di depan penjual tahu campur yang sedang menyiapkan pesanan saya: memotong selada, memotong daging, lalu merebusnya ke kuah kaldu. Saya melihat ke jalan malam Pasar Pucang dan bergumam dalam hati seraya mengingat janji yang pernah saya ucapkan beberapa bulan lalu. Janji untuk kembali ke rumah dengan Juki—sepeda motor yang sudah menemani saya selama lima tahun terakhir. Sepeda motor hasil menabung dari uang jajan saya selama SMA. Janji itu, kelak akan saya tepati tiga minggu setelah hari ini. Janji menapaki perjalanan 800 kilometer lebih. Perjalanan yang membuka mata saya akan berbagai hal yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Akhirnya, pesanan saya selesai dan perjalanan dimulai sejak malam itu.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.