Pada masa pandemi, ketika kita tidak bisa beraktivitas di luar dengan leluasa, menonton film menjadi salah satu cara kita untuk melepas penat. Kita ini termasuk saya tentunya. Menonton adalah kegiatan yang paling saya nikmati ketika saya memiliki waktu luang. Banyak hal yang saya tonton, mulai dari film bioskop yang diputar ulang pada saluran-saluran daring sampai dengan sinetron yang diputar di televisi. Kemungkinan besar saya akan menyimak “sinetron” tersebut sewaktu Ibu saya menginap di rumah.

Ketika saya mengikuti cerita dalam film, pernah ada rasa miris yang muncul di hati dan pikiran saya. Banyak film yang dibuat hanya sekadar untuk memuaskan rasa penonton. Para pembuat film seolah minim usaha dalam menggali informasi yang lebih mendalam. Mereka hanya sibuk menyodorkan kreativitas tanpa ilmu. Kalau pada kalimat sebelumnya saya menulis bahwa film hanya untuk memuaskan rasa penonton,  sebenarnya saya sendiri pun tidak paham rasa apa yang ingin dipuaskan oleh mereka.

Film yang paling mungkin ditonton oleh sebuah keluarga adalah film sinetron. Sinetron ini biasanya memiliki episode panjang yang dibuat tanpa ujung yang jelas. Contoh terdekat yang saya amati akhir-akhir ini adalah sinetron-sinetron yang muncul dalam momentum Ramadan. Sinetron-sinetron tersebut kerap menyugugkan tema kehidupan di pesantren. Kehidupan di pesantren yang seharusnya islami dengan berbagai peraturan ketat, justru dibuat menjadi  lelucon yang tidak jelas. Ada ustaz dan ustazah yang saling suka dan dibuat saling bercengkrama dekat satu sama lain padahal bukan mahramnya; Ada anak-anak yang iseng tanpa memikirkan hal yang pantas atau tidak pantas terhadap orang yang lebih tua. Ada pula yang demi mempertahankan identitas, dari kecil rambut selalu dibuat tegang ke atas, ketika sudah besar dan ikut bermain dalam sinetron ini, maka dibuat rambutnya menembus jilbab dan menjulang tinggi ke atas. Yang tidak kalah mirisnya adalah kisah percintaan tokoh utama yang dibuat vulgar. Saya sungguh miris melihatnya.  Saya mungkin belum tergolong sebagai manusia yang menerapkan ilmu agama secara optimal, tetapi hati saya memberontak saat melihatnya.

Mungkin orang akan menganggap saya terlalu kolot, tetapi bagi saya ilmu pengetahuan tidak bisa kita pelintir hanya demi rating dan uang semata. Banyak cara bercerita yang sesuai kaidah dan tetap bisa membuat penonton tiba-tiba menangis karena sedih, marah karena kecewa, tertawa karena senang, serta rasa-rasa lainnya. Sebelum membuat gagasan, lakukanlah observasi dan galilah ilmu sedalam-dalamnya, barulah kita bisa membangun karakter, konflik, plot, dan pengaturan dalam film.

Suguhkanlah cerita yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia ini. Rasanya, cita-cita dan perjuangan pahlawan dalam merebut kemerdekaan tidak sedangkal cerita sinetron yang disuguhkan pada era sekarang. Mungkin untuk orang-orang yang memiliki uang berlebih akan memilih cara lain dalam mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi mereka. Namun, yang harus benar-benar kita sadari betul adalah 80% penduduk Indonesia (dalam ilmu pareto) masih harus mengenyam ilmu dengan cara seadanya. Televisi adalah media yang bisa dijangkau oleh ratusan juta rakyat Indonesia. Oleh karena itu, buatlah mereka pintar dengan menyuguhkan cerita yang benar dan jujur karena bercerita adalah salah satu cara memperpanjang peradaban.

 

Mels 😉

Tangerang, 25 April 2021, 10.42 WIB

 

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.