Saya, Sekolah, dan Tawuran
Kami sama-sama duduk di dekat jendela bus. Entah kenapa, tiba-tiba saya minta bertukar tempat duduk dengan teman SMP saya. Dia ke belakang dan saya pindah ke depannya. Selang beberapa detik kami berpindah, tiba-tiba ada kerikil tajam yang menancap di jendela bus tepat di posisi tempat duduk teman saya. Pucat pasi ialah ekspresi yang muncul di wajah saya. Itu merupakan pengalaman pertama saya menyaksikan tawuran ketika berada di dalam bus. Kejadiannya sangat cepat. Alhamdulillah kami selamat karena sopirnya cukup cekatan dan membuat kami semua lolos dari maut.
Setelah kejadian itu, tawuran jadi makanan sehari-hari. Yang tawuran bukan saya si Anak SMP, ya, melainkan teman-teman SMA dan STM yang sekolahnya berdekatan dengan saya. Ada satu kejadian lucu. Pernah pada suatu hari anak STM Kapal yang satu bus dengan saya diserang oleh SMA lain. Pecahan kaca pun beterbangan. Lalu, saya merasa ada sesuatu yang masuk ke dalam rok sekolah saya. Saya kaget dan ternyata ada seorang ibu tua yang berlindung di dalam rok saya. Saya berpasrah dan membiarkan dia dalam posisi itu selama kurang lebih 30 menit. Saya hanya bisa melindungi kepala saya dengan tas saja.
Pada saat saya duduk di bangku SMA, saya mengalami hal serupa. Satu tahun pertama, sekolah kami aman dan tentram. Pada saat saya naik ke kelas 2 SMA, terjadi kesalahpahaman antara SMA Texas dan SMA Boedoet yang lokasinya berada di dekat sekolah saya. Hal tersebut menyebabkan sekolah saya terlibat. Kejadian tersebut menjadi titik awal sekolah saya terlibat tawuran setiap minggunya.
Sekolah dikepung, semua kaca sekolah pecah, teman-teman tumbang merupakan pemandangan yang tidak asing lagi bagi saya. Rasanya memang menakutkan, tetapi perlahan ketar-ketir di hati saya mulai hilang karena terbiasa.
Saya bertindak sebagai tim sapu bersih alias tim eksekusi yang terluka. Ini bukan tugas khusus yang diberikan ke saya, ya, tetapi memang saya selalu ada pada saat tawuran terjadi, saya selalu ada di bus atau di sekolah saat tawuran berlangsung. Apes kali, ya, tetapi mau bagaimana lagi?
Rumah sakit menjadi fasilitas umum yang pasti saya datangi setiap minggunya. Kalau tawuran terjadi pada pagi hari, saya pasti bawa teman-teman yang terluka ke RS Setia Mitra. Kalau tawurannya terjadi siang hari, pasti saya bawa mereka ke RS Pertamina Pusat. Saya ingat sekali, korban terparah yang pernah saya bawa adalah teman saya yang terkena cangkul kepalanya. Dahinya menganga dan darah yang keluar luar biasa. Alhamdulillah penanganan cepat yang dilakukan pihak RS Pertamina membuat teman saya selamat. Oleh sebab kejadian itu, sampai sekarang dia selalu dipanggil Pacul.
Tawuran terakhir yang saya saksikan ialah ketika saya duduk di bangku kuliah. Saat itu saya menjabat sebagai ketua senat. Kami mengadakan lomba sepak bola tujuh tingkat universitas dan kebetulan kampus kami masuk seperempat final. Pada saat pertandingan menuju final sedang berlangsung, salah satu kampus yang sudah masuk final terlebih dahulu menginginkan bertanding dengan lawan kami dengan alasan dendam masa lalu. Mereka mulai merecoki pertandingan yang berakhir dengan tawuran besar hingga diliput oleh media. Sebagai ketua senat, saya sudah pasti tidak bisa pulang. Dua hari saya menginap di kampus karena korban cukup banyak. Salah satu senior saya terkena bacok berkali-kali di tangannya dan harus mendapatkan puluhan jahitan.
Ketika meningatnya sekarang, saya menjadi sangat takjub. Kenapa saya bisa berada pada situasi tersebut? Kok bisa jaman dulu anak sekolah tawuran dengan persiapan senjata berbahaya yang sangat matang, mulai dari celurit, kampak, golok, samurai, gir sepeda, hingga cangkul? Jiwa anak muda yang sama sekali tidak ada rasa takut dan tidak memikirkan nasib orang tua di rumah, guru di sekolah, dan masyarakat yang ada di sekitar area tawuran. Tidak bisa disenggol adalah ego yang ada pada saat itu. Ego yang kalau saya pikirkan saat ini adalah sesuatu yang tidak masuk logika.
Mels
Tangerang Selatan, 15 September 2021
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.