Sejak minggu ketujuh hidup di dalam kandungan Ibu, saya ditakdirkan untuk memiliki vagina. Saat lahir, secara langsung, saya dikelompokkan menjadi perempuan karena kelamin saya. Hari itu umur saya belum sampai 1 jam. Badan saya masih berlumuran darah dan sisa ketuban ibu saya. Pada saat itu, saya masih belum bisa bicara, berpikir, apalagi mengutarakan pendapat. Kalau saja saya dilahirkan dengan pengetahuan dan kemampuan berpikir seperti sekarang, mungkin saya akan protes dan menolak untuk menjadi perempuan karena setelah hidup sebagai perempuan selama 21 tahun, sifat perempuan ideal yang didefinisikan oleh masyarakat sangatlah sempit dan spesifik sehingga membuat saya bertanya-tanya: sebenarnya saya perempuan atau bukan.

Dalam masyarakat, perempuan dianggap perempuan ketika memperlihatkan sisi femininnya, yaitu kelembutan, kerendahhatian, kesensitifan, keseganan, dan kerendahdirian. Menurut saya, sifat tersebut sangatlah menyulitkan dan membuat posisi perempuan menjadi sangat lemah. Saya hanya bisa membayangkan ketika perempuan berada dalam bahaya dan semua perempuan di dunia memiliki sifat seperti itu. Prediksi saya, jumlah perempuan di dunia hanya ada setengahnya. Pada waktu lain, saya juga mencoba mencerminkan diri saya dengan sifat-sifat tersebut. Kalau memang perempuan pasti memiliki sifat-sifat tersebut, saya bukanlah perempuan. Saya adalah orang yang kasar, keras kepala, dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Jadi, apakah saya masih seorang perempuan atau entitas lain?

Di dunia ini banyak sekali perempuan yang merasa dirinya tidak cocok dengan penggambaran feminin yang lemah lembut. Seumur hidup, saya sering sekali dianggap tidak cukup perempuan karena saya tidak bergaya atau berlaku seperti perempuan yang seharusnya. Saya tidak menggunakan riasan. Saya hanya menggunakan rok ketika saya datang ke acara resmi atau ketika saya belum mencuci semua celana saya. Saat ini perempuan terkekang oleh representasi yang dibuat laki-laki—yang memaksakan takdir kepada perempuan bahwa ia hanyalah sebuah mesin reproduksi atau tempat laki-laki mempertaruhkan harga dirinya dengan mengatur dan menetapkan berbagai syarat dan ketentuan. Perempuan saat ini hidup dalam dunia yang didominasi lelaki. Mereka menentukan standar kecantikan hingga menilai kualitas seorang perempuan bedasarkan sisi femininnya. Kadang saya berpikir, apa gunanya semua standar dan apa manfaat mengotak-ngotakkan peran? Jawaban yang muncul dalam pikiran saya adalah untuk memudahkan hidup mereka.

Menjadi perempuan bukanlah hal yang mudah. Bahkan, ketika sudah mengakui bahwa saya adalah perempuan, saya masih belum bisa dianggap sebagai perempuan seutuhnya karena standar sifat perempuan sangat selektif sehingga sulit untuk banyak perempuan memenuhi standar tersebut. Hingga saat ini, saya masih belum bisa menentukan diri saya sudah cukup perempuan untuk menjadi perempuan sejati atau pun posisi saya sebenarnya. Di satu sisi, saya merasa satu tingkat di atas laki-laki karena saya memberontak hakikat yang mereka ciptakan untuk perempuan dan di sisi yang lain saya merasa terkucilkan karena saya tidak diterima di kategori mana pun.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.