“Saya ingin pergi ke Swiss dan menemuimu di bukit.”

Saya pandangi es batu yang berenang dalam larutan kopi di cekungan sendok selagi melamunkan keinginan itu. Saya ingin pergi ke Swiss dan menemuimu di bukit. Namun, tiba-tiba jam dinding memberitahu saya bahwa sekarang sudah pukul delapan malam. Saya pikir, benar-benar sebuah kesalahan untuk minum kopi di malam hari, dan seharusnya saya sungguhan pergi ke Swiss untuk menemuimu di bukit. Sebab, sudah pasti saya tidak akan bisa tidur malam ini. Lalu, kepala saya yang isinya ada banyak macam hal─dari penting, tidak penting, sampai hal-hal berbau dunia imajiner yang tetap tidak bisa saya singgahi sampai sekarang─seluruhnya akan keluar. Menyapa saya dengan riang sebelum ikut duduk bersama-sama untuk menyeruput kopi mengepul di malam hari. Hingga saatnya mereka bertanya, “Kamu ingin pergi ke Swiss dan menemuinya di bukit?”

Saya jawab ya, dan sekilas bisa saya lihat Ibu mengernyit dalam tidur. Lalu, saya berpikir lagi, sepertinya memang benar-benar sebuah kesalahan untuk minum kopi di malam hari. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang? Ketika saya tidak bisa pergi ke Swiss untuk menemuimu di bukit? Barangkali saya akan diam, barangkali saya akan menatap Ibu yang sudah jauh tertidur lebih lama, lalu beralih menatap langit-langit. Kemudian saya akan bertanya-tanya, “Mengapa Ibu repot-repot melahirkan saya?”; atau “Mengapa salju di pekarangan wujudnya seperti potongan-potongan tahu yang jatuh dan jadi kotor sehingga tidak bisa dimakan lagi?”; atau “Bagaimana kabarmu, ya? Bagaimana kondisi bahumu setelah dioperasi kemarin?

Saya ingat betul, sejak itu kita tidak lagi berbincang. Seperti potongan-potongan tahu yang jatuh dan kedinginan di pekarangan sehingga tidak bisa dimakan lagi. Mengapa pula kamu harus repot-repot menyembunyikan rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ditanggung sendiri? Mengapa pula saya harus berpikir bahwa semua ini salah saya yang terlahir hanya sebagai manusia? Kemudian saya akan mengomel lagi, benar, seharusnya saya pergi ke Swiss dan menemuimu di bukit. Sebab saya mengenalmu kelewat baik, bagaimana caramu selalu pergi seperti seorang ayah, atau bagaimana caramu berkelit secepat kilat layaknya aliran air di hulu sungai.

Setelahnya, barangkali saya lagi-lagi akan terdiam. Kehabisan sesuatu untuk dipikirkan atau ditanyakan pada lampu yang sudah mati gantung diri. Setidaknya, selain beberapa pertanyaan: “Mungkinkah hidup ini juga sama salahnya seperti kopi yang saya minum pukul delapan malam? Mungkinkah potongan-potongan tahu yang telah jatuh sebenarnya bisa diselamatkan? Mungkinkah kamu sebenarnya tahu itu, tetapi kamu memilih untuk tidak lagi menyukai tahu yang tawar dan juga kopi yang pahit?”

Seharusnya saya pergi ke Swiss dan menemuimu di bukit.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.