Sirah Melalak
Cermin itu retak, dan kamu diam saja. Bara merah menyengat dan menyerang, dan kamu diam saja. Cermin itu retak, dan kamu malah pura-pura tidak menyadari bahwa saya hadir di sana. Kamu tidak pula acuh ketika seseorang yang asing bagimu mulai menyulut api dari sebuah kertas tempatmu menulis bait-bait. Kamu malah bergeming, diam dan luluh lantak dan penuh agoni. Tidak repot-repot menoleh ke arah jendela tanpa tirai karena diam-diam kamu tahu: di luar salju telah tiada.
“Di luar salju telah tiada,” ucap saya.
Kamu mengernyit, kasurmu berderik. Ujungnya mulai terlalap api, tapi tak kunjung juga kamu beranjak berdiri. Saya lihat di meja, cangkir kopi pagimu sudah tertidur, dan airnya menetes-netes jatuh ke lantai. Membuatnya penuh noda. Noda, noda. Pikiran kita pasti sama kalutnya karena kamu terbaring di kasur, dan saya duduk di muka cermin, tampak sama sekali tidak berniat untuk peduli pada kopimu yang sia-sia mati.
“Jangan bercanda. Tidak ada yang namanya salju di sini,” balasmu, suaramu parau sekali.
Bohong, batin saya. Hanya lakonmu yang seakan-akan kamu lupa pada hari Selasa tujuh tahun lalu, ketika kamu berteriak lantang penuh hidup bahwa sampai ke ujung kosmos pun ‘kan kau jabani. Namun, kamu memang tidak pernah percaya pada yang namanya keajaiban. Itu pulalah alasan mengapa kini kamu hampir mati dilalap api. Ironis, saya pikir.
Duh, di luar salju telah tiada. Sekarang apa yang saya lihat hanyalah abu hitam yang jatuh melayang-layang di udara, seperti mimpi pergi ke ujung kosmos yang sudah kamu bakar habis dengan dalih mengingatkan diri sendiri bahwa menyerah adalah bagian dari keberanian, asal dilakukan dengan tegas. Mungkin mati juga begitu. Mungkin mati juga adalah tindakan keberanian, asal kamu yakin kalau mimpi-mimpi yang seharusnya kita rajut bersama sudah kehabisan benang dan kini mulai ikut hangus bersama bangunan yang kita sebut rumah.
“Saya kira peperangan belum usai. Heh, peperangan memang belum usai, tahu.”
“Bagi saya sudah, tuh,” balasmu, menutup mata dengan lengan sambil kesusahan bernapas. “Sudah saya sulut apinya agar hangus dan lebur dan tidak ada lagi yang tersisa.”
Duh, duh. Mudahnya kamu bicara demikian. Sayang, pada kenyataannya kita adalah sepasang insan yang sama-sama sesak napas menghirup apa yang tersisa. Namun, saya adalah sisi muak yang sering mengusikmu, atau mengusik saya sendiri. Seperti adik-adikmu yang gemar mengganggu tidur, yang persis halnya rasa gundah yang lewah sampai-sampai membuat ngilu tiap jengkal tulang punggungmu. Saya juga tahu, kamu selalu membenci perasaan itu: tulang yang ngilu dan tidur yang terganggu. Namun, toh, kamu tidak bisa mengelak kenyataan kalau kamu menyayangi adik-adikmu lebih daripada kamu menyayangi diri sendiri. Dan bagimu, merekalah alasan untuk hidup. Akan tetapi, hidupkah kamu sekarang?
“Akan selalu ada yang tersisa. Mungkin itu tumpukan abu, mungkin itu bau hangus, atau semuanya malah sama saja,” saya bilang, sambil bangkit dari kursi yang mulai terlalap api. “Tetapi, ketahuilah bahwa di luar salju telah tiada.”
Dengan itu, saya langsung memalingkan wajah, berbalik pergi untuk pulang melalui jalan terjauh yang akan saya tempuh pertama kali sejak saya bernapas di dunia. Sampai beberapa saat kemudian, ketika saya berhenti sebentar bersama abu yang beterbangan, dan bayang-bayangmu telah sepenuhnya dimakan habis bara api. Saya bertanya kepada lampu-lampu jalan yang berkedip, “Katakan, apakah semuanya akan baik-baik saja?”
Mereka serempak mengatakan, “Kami tidak tahu.”
Salsabilla Dewi Kemuning,
tentang mimpi-mimpi yang hangus terbakar di Tanah Kelahiran
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.