Tiga Puluh Detik
Pada malam hari yang ditemani oleh derasnya guyuran hujan di pinggiran kota Jogja ini, aku masih berusaha memutar otak demi menulis sebuah tulisan untuk swalatih. Padahal, waktu pengumpulan swalatih tinggal satu hari. Tentunya, sebagai salah satu pramubahasa di Narabahasa, swalatih merupakan sesuatu yang wajib. Hingga sehari sebelum tenggat pengumpulan, aku masih mencari-cari apa yang sebaiknya aku curahkan dalam tulisan ini. Kemudian, bak munculnya lampu di atas kepala, aku mendapat ide tentang apa yang akan aku curahkan dalam tulisan ini. Aku memutuskan untuk bercerita mengenai sebuah malam ketika diriku penuh dengan rasa gundah, sebal, dan kesal. Sebuah malam yang sangatlah gedrag-gedrug.
Kisah ini dimulai pada bulan Januari 2020 ketika dunia digemparkan oleh berita munculnya sebuah virus misterius nan mematikan di Cina. Pada saat itu, Indonesia masih belum memiliki satu kasus pun dari virus tersebut. Semua masih berjalan normal. Masyarakat masih beraktivitas seperti biasa. Kita masih bisa melakukan kuliah secara luring dan masih belum memiliki kekhawatiran apa pun tentang apa yang akan terjadi sepanjang tahun 2020. Kekhawatiran tersebut tiba ketika terdapat pengumuman kasus pertama Covid-19 di Indonesia.
Pada pertengahan bulan Maret 2020, kegiatan perkuliahan berubah menjadi daring. Iya, daring! Mulanya, aku agak takut jika kuliah dilaksanakan secara daring. Sisa semester empat sebenarnya kulalui dengan santai, tetapi hal yang membuatku kesal selama kuliah semester empat lalu adalah ketika mengerjakan tugas penelitian mata kuliah Morpho-Phonology. Bagaimana tidak kesal, teman-temanku baru mulai mengerjakan lima jam sebelum tenggat pengumpulan. Gedrag-gedrug rasanya. Beruntung, kami berhasil mengumpulkannya tiga puluh detik sebelum tenggat. Hahaha.
Walaupun aku sudah lega karena berhasil mengumpulkan sebelum tenggat, masih saja ada rasa kesal terhadap anggota kelompokku. Berhari-hari sebelum tenggat, aku berusaha mencoba untuk melakukan diskusi bersama mereka. Akan tetapi, yang sebenarnya terjadi adalah mereka manut saja. Kata terserah pun seperti sudah menjadi templat setiap aku mengajak untuk diskusi. Awalnya, aku hanya memendam kekesalanku dan memaklumi mereka. Toh, setiap orang pasti mempunyai kesibukannya masing-masing. Apa pun yang terjadi, aku tetap akan berusaha untuk berpikir positif.
Yang tidak kusangka dari hasil gedrag-gedrug semalaman itu adalah dosen mata kuliah tersebut memberi nilai tinggi dan menyarankan untuk memasukkan naskah penelitian ke sebuah konferensi yang diadakan oleh salah satu UKPS (Unit Kegiatan Program Studi) di kampusku. Tidak kusangka juga, naskah penelitian kami diterima! Aku pun terkejut. Rasa sebal dan kesal yang kurasakan pun perlahan menghilang dan berubah menjadi rasa gembira. Dari kisah itu, aku menyadari bahwa segala hal, jika dilakukan dengan penuh tekad dan usaha, pasti akan membuahkan sebuah hasil dan akhir yang positif.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.