Titik Didih
Tibalah cerita ini pada sebuah titik yang berakibat buruk pada hubunganku dengannya. Saat itu, aku dan ia baru saja tiba di Malioboro selepas mengunjungi Gembira Loka. Kami berjalan sepanjang trotoar khas Malioboro yang berwarna abu-abu dan dilengkapi oleh “telur dinosaurusnya”. Selama menyusuri Malioboro dari perempatan titik 0 km hingga berhenti sejenak di depan Mall Malioboro, satu huruf pun tidak keluar dari mulut kami. Kami berjalan berdampingan tanpa ada satu atau dua patah kata. Tampak aneh memang. Saat aku dan ia beristirahat, kuputuskan untuk memulai sebuah obrolan. Akan tetapi, sebuah rasa canggung masih saja memayungi pikiranku sehingga berefek kepada singkatnya obrolanku dengannya.
Setelah duduk beberapa menit, aku dan ia memutuskan untuk masuk ke Mall Malioboro untuk ngadem. Di sana, kami hanya sebatas “mencuci mata”. Eh, tidak, ding. Sosok itu mengajakku ke suatu toko serbaguna karena ia ingin membeli sebuah buku catatan. Aku pun menemaninya sembari melihat-lihat barang yang dijual di toko tersebut. Seusai belanja di sana, aku dan ia mengunjungi toko buku impor. Kami memang berencana untuk membeli buku. Akan tetapi, apa daya, karena harga buku yang terlalu “gila” bagi kantong mahasiswa, kami urung membeli. Haha. Setelah merasa cukup ngademnya, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju arah Stasiun Tugu.
Selama perjalanan, aku pun mengajaknya untuk mengobrol ringan. Kami membahas dari hal yang kami sukai hingga keluh kesah kami selama semester pertama kuliah. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 12 siang. Aku pun bertanya, “Mau makan, nggak?” “Mau. Aku udah laper,” balasnya. Aku pun mulai melihat sekeliling Malioboro untuk mencari tempat makan. Mataku kemudian tertuju pada sebuah kafe unik bertemakan kereta api. “Mau makan di situ, nggak?” tanyaku sambil menunjuk kafe itu. “Ya, terserah,” ujarnya. Kami pun bergegas menyeberang jalan menuju kafe. Kami pun segera meminta buku menu dan memutuskan untuk memesan makanan dan minuman. Tak disangka, aku dan ia memesan makanan yang sama. Haha. Kami memesan spageti bolognaise. Selama menunggu pesanan, kami hanya mengobrol singkat dan sibuk dengan gawai masing-masing. Sesekali, aku atau ia memulai obrolan, meskipun hanya berupa obrolan singkat.
Pesanan kami pun datang. Tanpa basa-basi, kami melahap habis spageti itu. Seusai makan, kami kembali melakukan hal yang sama: mengobrol singkat dan sibuk bermain gawai. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Entah mengapa, aku merasa canggung. Setelah menunggu bongkahan es terakhir meleleh, kami memutuskan untuk pulang. Aku pulang menggunakan bus, sedangkan ia pulang menggunakan ojek daring. Sesampainya di rumah, muncul sebuah perasaan bersalah. Kala itu, aku tidak tahu mengapa perasaan itu muncul. Pertanyaan itu pun terjawab ketika aku menyadari saat perkuliahan kembali berlangsung. Obrolan melalui WhatsApp yang biasanya lancar dan intens berubah 180 derajat. Kami mulai saling menghindar. Kala itu, aku merasa bahwa kegiatan hari lampau memberikan efek buruk pada hubunganku dengannya. Namun, anehnya, pada suatu hari, ia memberikanku sebuah cokelat. Hal itu membuatku berpikir mengenai perasaanku terhadap dia. Namun, apakah sudah terlambat?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.