Tokoh Idaman
Ada sebuah keberuntungan bahwa aku pernah belajar mengarang. Lewat mengarang, aku bisa memilih peran. Aku seperti menjalankan sandiwara yang ingin kuceritakan kepada khalayak dan meyakinkan bahwa karanganku adalah yang sesungguhnya terjadi pada diriku.
Lewat mengarang, aku bisa membuat sebuah rekaan agar semua orang tidak perlu merasakan kekalutan. Menghidupkan cerita yang didambakan semua orang, sebuah alur cerita tanpa ada kejadian nahas yang menghantui.
Pelajaran mengarang juga membuatku bisa mereka kejadian yang semula terlihat begitu menyedihkan menjadi seolah-olah mampu terselesaikan dengan sempurna. Si tokoh dibuat menjadi sosok yang teguh dan pekerja keras. Membuat yang apa adanya dalam sebuah karangan, sesuatu yang memang ingin disuguhkan dan terkesan tidak dibuat-buat.
Andai memang mengarang mampu menjadi hal yang nyata dalam kehidupan, sepertinya bisa hidup dengan waras saja sudah bersyukur. Nanar sekali pandangan pengarang jika membuat karangan yang ingin senantiasa hidup tenang atau bahagia.
Sayang seribu sayang, kali ini dalam pelajaran mengarang, aku ternyata ingin terlihat menjadi pengarang yang nanar itu. Tidak terlihat kesusahan dan tidak merepotkan orang lain sama sekali. Alih-alih karanganku terselesaikan dengan luwesnya, nyatanya tidak. Aku saja masih terus mencari tokoh yang sesuai dalam karangan. Reka-reka kejadian masih sering disunting juga. Berharap sekali rekaan yang dibuat mampu terus tersenyum bahagia.
Sial! Mana ada cerita macam itu: orang yang hidupnya bahagia terus, tidak bertemu kesakitan dan kesusahan. Kecuali, dia manusia gila, tanpa akal.
Aku meneguk kopiku supaya cepat habis dan bergegas beranjak dari belenggu pikiran ini. Beranjak ke suasana berbeda supaya pikirannya ikut berbeda juga. Akan tetapi, nyatanya tidak. Aku saja yang sedang membuat cerita karangan tidak logis. Mana bisa, satu tokoh dibuat terus-terusan tersenyum, terus-terusan bahagia.
Seseorang kini sudah hadir secara tiba-tiba dalam kehidupan nyata. Tiba-tiba ia juga membuat cerita karanganku yang semula nanar menjadi sedikit demi sedikit lurus. Mengapa, ya, bisa begitu? Tanyaku terus dalam benak. Hadirnya orang lain dalam interaksi nyataku perlahan membuatku berdamai. Khususnya dia yang entah telah sengaja kuikat terus-terusan untuk membelenggu isi cerita karangan dengan harapan mampu mengubah rasa dalam cerita. Aku yang tetap dihantui dengan rasa khawatir, cemas, bimbang, bagaimana jika dia membuat diriku selalu merasa baik dan dibuatnya selalu nyaman?
Kini cerita karanganku seolah telah teralihkan menjadi hal-hal yang kutakutkan selama ini. Sengaja memang kutantang diriku. Aku ingin segera memiliki tokoh yang bisa menikmati beragam rasa.
Aku terus menjajaki satu per satu kejadian dan berusaha merasakan ketidaknyamanan dalam pikiran dan perasaan. Diriku mulai dibuat tertawa dan menangis dalam satu waktu. Hingga berakhir dengan gumam “tidak semenyeramkan itu ternyata, perlahan saja, nikmati”.
Aku kini tetap masih sama dalam kehidupan nyata: si penyuka alur menjemukan—tokoh, yang jika dibuatkan sebuah karangan, ingin selalu terhindar dari tontonan dan tidak ingin dijadikan bahan obrolan.
Pelajaran mengarang mengajarkan untuk membuat semua hal menjadi kompleks. Rasa yang hadir akan menjadi kenikmatan bagi pembacanya. Tentu, hal yang menjemukan akan menjadi sampah dalam gundukan tulisan. Pembaca bosan dengan ceritanya. Hingga sampai saat ini, doakan saja, semoga yang terajut alur cerita mampu membuat kolaborasi indah untuk cerita karangan si menjemukan, ya. Amin.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.