Pekan lalu, saudaraku berkunjung ke Medan. Bukan kunjungan yang menyenangkan karena sesampainya di bandara mereka buru-buru berangkat menuju rumah sakit. Umi, panggilanku pada istri adik Mama, sedang lemas dan mengeluh lambungnya sakit. Dari Mama aku tahu, beliau sudah diinfus selama tiga hari di kampung, sesekali menggigil, dan kehilangan tenaga. Karena tak kunjung membaik, akhirnya Om Zul, adik Mama, memutuskan membawa Umi ke Medan untuk berobat. Keluarga was-was sebab pandemi bisa jadi menyusahkan keberangkatan. Alhamdulillah, setelah melakukan tes cepat, Umi dan Om Zul dinyatakan sehat dan bisa terbang.

Aku masih di rumah saat dikabari bahwa mereka sudah sampai di Bandara Kualanamu. Kata Om Zul, mereka akan langsung ke rumah sakit. Sehingga, aku tidak perlu menjemput di bandara. Sore harinya, selepas dari kampus, Mama menyuruhku untuk menjenguk. Aku pun bergegas ke rumah sakit. Di lobi rumah sakit, aku melihat banyak orang menunggu. Parkiran pun penuh. Kukira ada kecelakaan atau sesuatu yang terjadi. Tak lama menunggu, Om Zul menelpon, “Dea, di mana?” tanyanya.

“Sudah di parkiran, Om. Om di lantai berapa?” jawabku hendak memasuki rumah sakit.

“Loh, ngapain ke rumah sakit. Kan, ga bisa masuk? Dea sendiri?” Om Zul balik bertanya dengan nada terkejut. Ternyata di balik pintu, satpam sudah berdiri dan menyuruhku untuk berbalik.

“Oh, iya,” aku menepuk jidat. Pantas saja lobi rumah sakit ramai. Ternyata satu pasien hanya boleh ditemani satu keluarga. Sisanya tidak diizinkan masuk dan itulah yang membuat lobi rumah sakit tampak ramai. “Iya, Dea sendiri, Om. Jadi gimana, Om?” akhirnya malam itu aku pulang dari rumah sakit tanpa bertemu saudaraku. Aku baru sadar, pandemi mengubah banyak hal, termasuk sistem rumah sakit.

Beberapa menit sesampainya aku di rumah, Om Zul kembali menelepon. Katanya rumah sakit penuh dan tidak ada tempat untuk menginap sementara Umi harus istirahat. Malam itu, mereka putuskan untuk mampir ke rumahku, setidaknya sampai pihak rumah sakit menetapkan ruang rawat inap untuk Umi. Sekitar pukul 11 malam, Om Zul dan Umi sampai di rumah. Tidak ada salam dan pelukan. Keduanya langsung mandi dan berganti baju. Dengan tertatih, Umi sesekali bercerita tentang kondisinya. Om Zul memapahnya dengan tabah.

Hari kedua di Medan, mereka mengecek rumah sakit lain yang menangani lambung. Sayangnya, rumah sakit lain pun tampak sibuk dan tidak memberikan pelayanan yang cepat. Dari Om Zul, aku tahu bahwa akhirnya mereka mendapatkan kamar inap di rumah sakit yang kemarin penuh. Selama seminggu, Om Zul bolak-balik dari rumah sakit dan rumah untuk sekadar mandi dan berganti baju, juga membeli keperluan Umi. Sisa waktunya dihabiskan di rumah sakit menjaga Umi. Sesekali, aku menawarkan untuk berganti, tetapi Om Zul menolak dengan halus. Katanya aku lebih baik belajar saja di rumah.

Setelah lima hari di rumah sakit, akhirnya Umi keluar dengan keadaan yang lebih baik. Om Zul terlihat bersemangat saat membawa Umi pulang ke rumah. Namun, tidak berlangsung lama, esoknya, Umi kembali mengaduh sakit kepala. Raut wajah Om Zul berubah khawatir. Agenda istirahat di rumah hari itu berganti menjadi cek dokter mata dan saraf.

“Pak, sakit kepala Ibu belum tentu karena mata, tetapi saya yakin, oleh dokter saraf pun Bapak dan Ibu akan dirujuk ke dokter mata dahulu,” jelas dokter saat ditanyakan perihal penyakit Umi. Kata dokter, ada masalah pada matanya. Umi sudah lama menggunakan kacamata. Itulah masalahnya. Lensa kacamata Umi sangat jauh berbeda. Mata kiri normal, sedangkan mata kanan minus sembilan. Dokter tidak punya jalan lain selain operasi CLE (semacam operasi katarak).

“Harus dioperasi.” Mendengarnya saja sudah membuatku merinding. Umi terlihat pucat. Dibalik matanya yang tampak sipit, aku bisa melihat air mata tertahan. Dalam waktu kurang dari seminggu, sudah dua rumah sakit, dan dua vonis penyakit berbeda dideritanya,

“Baik, Dok. Operasinya bisa sekarang?” setengah tidak sabar, Om Zul menanyakan kesediaan dokter. Umi awalnya mengelak. Namun, karena tidak punya pilihan, ia kemudian pasrah. Aku sendiri ikut pemeriksaan mata dan menyaksikan Umi dan Om Zul berkonsultasi dengan dokter. Administrasi segera diurus dan Umi dioperasi hari itu juga.

Om Zul dan Umi jadi kisah yang berarti di bulan November lalu. Kejadian ini membuatku belajar tentang menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Tidak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri, tetapi juga tanggung jawab untuk merawat dan menjaga hubungan yang sudah dimulai. Ternyata kisah cinta romantis itu bukan cuma ada di novel dan film, tetapi juga ada di setiap pasangan dalam bentuk yang berbeda-beda.

Nadia Virdhani Hia
-penikmat kisah orang lain.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.