Wawancara Imajiner
Pembicaraan tentang jurnalistik tak jauh-jauh dengan nama seorang jurnalis wanita ternama—Najwa Shihab—yang merupakan salah satu perempuan berpengaruh di Indonesia. Beberapa waktu lalu, tepatnya Senin, 28 September 2020, Najwa Shihab melakukan hal yang menggemparkan masyarakat, yakni mewawancarai kursi kosong.
Bukan tanpa alasan putri dari ulama besar itu melakukan monolog. Hal tersebut karena orang yang diharapkan menjadi narasumber tak kunjung datang. Adalah Terawan Agus Putranto, Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI), yang entah kenapa tak muncul di hadapan publik belakangan ini. Padahal, pada saat yang sama, masyarakat membutuhkan arahan beliau, yang notabenenya adalah orang paling bertanggung jawab tentang yang berhubungan dengan kesehatan rakyat Indonesia pada masa pandemi ini. Sebagai Menkes RI, tentu beliau adalah orang yang paling tepat jika hendak mengajukan pertanyaan mengenai Covid-19 di Indonesia.
Beberapa kali pihak Mata Najwa mengundang beliau untuk hadir karena dirasa perlu untuk menjawab semua pertanyaan dan keluh kesah masyarakat. Akan tetapi, hingga tulisan ini dibuat, agaknya belum ada wajah Menkes RI tampil di acara tersebut.
Najwa Shihab melontarkan beberapa pertanyaan dan pernyataan dalam video berdurasi 4 menit 21 detik itu. Tentu, semua pertanyaan itu ditujukan untuk Menkes RI di Kabinet Indonesia Maju. Pilihan kata yang digunakan, pertanyaan yang diajukan, dan semua yang dilontarkan menjadi perhatian publik karena memang dirasa cukup mewakili keresahan masyarakat pada saat itu.
Di sisi lain, pada 2003 terdapat film berjudul Shattered Glass yang tokoh utamanya—Stephen Glass—melakukan wawancara imajiner. Padahal, ia merupakan penulis untuk majalah New Republic, majalah yang cukup berpengaruh di Amerika pada saat itu.
Kisahnya sebagai penulis yang pada dasarnya memiliki aturan khusus mengenai etika profesi dikemas menarik dalam durasi kurang lebih 94 menit.
Pada awalnya, penonton disajikan tayangan yang seolah membuat Glass terlihat sebagai penulis yang mumpuni di bidangnya. Dia menulis banyak artikel yang disajikan oleh majalah ternama di Amerika pada saat itu dan tulisannya dibaca banyak orang, tak terkecuali orang-orang penting.
Glass memiliki banyak teman yang peduli terhadapnya, dan dia sangat menghargai editor yang menurutnya hebat, Michael Kelly. Suatu waktu Kelly memanggil Glass untuk datang ke ruangannya, meminta penulis 24 tahun itu menjelaskan tentang apa yang telah ditulisnya pada cetakan New Republic. Kelly merasa ada kejanggalan yang membuatnya butuh klarifikasi dari salah satu penulisnya tersebut. Namun, jawaban dari Glass tidak membuatnya yakin tentang apa yang tertulis di lembaran kertas itu merupakan fakta atau bukan.
Singkat cerita, tibalah hari ketika Kelly mengundurkan diri sebagai editor karena tidak terima melihat para penulisnya diminta menandai tanda koma yang banyak oleh atasannya. Akhirnya, posisi editor diisi oleh Charles Lane atau yang kerap disapa Chuck.
Setelah Chuck menjadi editor, tulisan karya Stephen Glass kembali menuai keraguan. Bagaimana tidak, banyak komponen dari tulisannya yang berbeda dengan fakta yang ada. Mulai dari nama perusahaan, komunitas yang disebutkan, sampai lokasi yang bersangkutan. Hal tersebut ditemukan oleh penulis dari majalah Forbes yang kala itu belum sebesar sekarang.
Chuck sebagai editor yang sekaligus penanggung jawab ingin mengusut hal tersebut. Dia menanyakan kepada Glass tentang semua kejanggalan yang ditemukan oleh pihak majalah Forbes.
Glass baru mengaku setelah Chuck mengajak untuk mendatangi lokasi kejadian tempat yang ditulisnya setelah banyak pengecekan fakta yang dilakukan. Glass merasa hancur setelah Chuck mengetahui kedustaannya dalam menulis di majalah New Republic—yang seharusnya menyajikan fakta dan kebenaran.
Akhirnya, Chuck memutuskan untuk memecat Glass setelah mengetahui 27 dari 41 tulisan Glass itu tidak berdasarkan fakta, tetapi hanya imajinasi dari pria yang juga sedang kuliah hukum tersebut.
Dari film yang diangkat dari kisah nyata tersebut, Glass sebagai penulis melakukan wawancara imajiner dengan membuat jawaban sendiri dari pihak yang bahkan tidak dia ajukan pertanyaan. Glass mewawancarai orang yang tidak dia temui dan membuat jawaban seolah berasal dari narasumber yang tepat.
Hal tersebut tentu bukanlah sikap terpuji. Sudah sepatutnya seorang jurnalis menuliskan apa yang terjadi secara nyata untuk tulisan yang nantinya akan dipublikasikan dan dikonsumsi masyarakat. Itu berbeda dengan apa yang dilakukan Najwa Shibab yang hanya melontarkan pertanyaan pada kursi kosong, tanpa membuat jawabannya sendiri.
Menurut saya, wawancara imajiner agaknya tidak bisa dilakukan apabila masyarakat yang mengonsumsinya tidak mengetahui bahwa apa yang mereka terima merupakan hasil dari wawancara imajiner, seperti halnya yang dilakukan Glass pada film Shattered Glass. Masyarakat perlu tahu apakah yang dibaca atau diterima oleh mereka merupakan fakta atau hanya karangan belaka.
Apa yang dilakukan Najwa Shihab tampak oleh masyarakat. Ia mewawancarai sebuah kursi kosong dengan harapan menjadi pemicu agar narasumber aslinya benar-benar duduk di bangku tersebut. Sebaliknya, yang dilakukan Glass pada film garapan Billy Ray itu menyalahi aturan yang ada dengan tidak mencantumkan bahwa tulisan itu merupakan hasil wawancara imajiner, buah dari karangannya.
Dalam dunia jurnalistik, khususnya di Indonesia, seorang jurnalis memiliki kode etik jurnalistik yang mengatur setiap perbuatan yang berkaitan dengan jurnalistik. Sudah semestinya jurnalis dapat menyajikan informasi yang berupa fakta dan benar adanya. Wawancara imajiner sah-sah saja dilakukan dengan catatan memuat bahwa apa yang disajikannya tersebut merupakan hasil dari wawancara imajiner. Dengan demikian, masyarakat dapat mengetahui mana yang memang benar ada dan hanya dibuat belaka.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.