Saya kembali ke kota romantis yang pernah saya tinggali beberapa tahun lalu. Yogyakarta, seperti kata Kla Project, masih seperti dulu. Setiap jalan di kota ini menyimpan dan menghadirkan kenangan. Ada bunga dalam hati yang akhirnya mekar lagi. Atas hal itu, jiwa saya merasa lebih muda dan lebih mampu merasa sebagai seorang manusia. Dengan ditambah sentuhan-sentuhan sederhana dari angkringan di tepi jalan atau percakapan ringan penuh kelucuan dengan beberapa kawan, kehidupan terasa bangkit dari kelesuan.

Memanglah saya baru empat hari menjejak tanah dan menghirup lagi udara Yogyakarta. Akan tetapi, cerita-cerita penuh kesan sudah mulai bermunculan. Dua hari lalu, selepas pukul delapan malam, saya bersama dua orang penghuni indekos makan bersama di angkringan kecil yang tak begitu jauh. Kami pun mengobrol, mulai dari pengejaran layangan putus oleh sekumpulan anak kecil sampai aksi demonstrasi di pusat kota. Gerobak nasi kucing, sebuah lampu teplok, dan cakap lirih beberapa pengunjung menjadi komponen khas yang turut memberikan suasana karib.

Pulang dari sana, obrolan kami masih berlanjut. Salah seorang bercerita tentang masa orientasinya di Institut Seni Indonesia (ISI). Kampus seni selalu punya cara unik untuk memperkenalkan dirinya. Atas nama kesopanan dan guna menimbulkan rasa penasaran, saya tak menceritakannya di sini. Sementara itu, seorang lagi menguraikan pengalamannya berhadapan dengan letusan Gunung Merapi pada 2010. Dan seterusnya, makin banyak cerita, makin seru hingga tak terasa bahwa waktu sudah pukul tujuh pagi. Kami bertiga—yang juga berarti seluruh penghuni indekos—memutuskan untuk tidur.

Sore harinya, hari ketiga, saya diajak berkeliling Kotagede oleh seorang teman masa SMA yang sudah lebih dulu tinggal di Yogyakarta. Kotagede adalah wilayah kuno, bekas pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Di sana kami menelusuri jalan-jalan kampung yang terbuat dari tegel. Kami melewati bekas alun-alun yang tampak sangat biasa jika dibandingkan dengan alun-alun zaman sekarang. Saya takjub, terlebih ketika melewati kawasan masjid yang dikelilingi gapura dan tembok pembatas bercorak lawas, batu bata merah yang menampilkan kesan gagah.

Teman saya tak segera memulangkan saya. Masih di Kotagede, ia membawa saya ke sebuah toko buku. Namanya Natan Book Shop. Toko itu berdinding kayu. Di dalamnya banyak buku-buku bagus, baik fiksi maupun nonfiksi. Di sana saya juga menjumpai buku-buku langka.

Toko buku yang nyaman itu dijaga oleh seorang wanita bernama Artie Ahmad. Selidik punya selidik, setelah kami bertiga berbincang cukup lama, saya akhirnya tahu bahwa ia sudah menulis tiga buku (novel dan kumpulan cerpen). Selain menceritakan sedikit mengenai pengalaman menulisnya, ia juga berkisah tentang Jakarta ketika ia berkunjung ke sana tahun lalu. Pendapatnya, seperti yang saya duga, Jakarta menyimpan sisi kelam di balik kemegahannya. Saya setuju. Jakarta adalah kemegahan yang berkaca-kaca. Oleh karena itulah saya memilih untuk mencari tempat yang jauh lebih damai, yang lebih memiliki interaksi antarmanusianya: Yogyakarta.

Entah akan berapa lama saya tinggal di kota impian ini. Pun saya tahu, seperti kota lain, Yogyakarta juga punya “daftar hitam”. Akan tetapi, setidaknya untuk saat ini, tak ada tempat yang lebih baik dalam kepala saya, selain Yogyakarta. Di sini saya menapaktilasi aroma semangat remaja yang pernah berkobar hebat beberapa tahun lalu. Di sini saya mereka ulang perasaan tanpa kehadiran sang pujaan. Dan, di sini juga, meminjam kata-kata Soe Hok Gie, saya merangkai perjalanan baru yang tak satu setan pun tahu bagaimana ujungnya.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.