Berisik
Tak ada yang lebih berisik daripada kepalaku. Ia selalu berteriak layaknya anak yang ditinggal mati orang tuanya. Ia tak pernah peduli kepadaku meskipun aku telah bersimpuh meminta ampun, meminta ia segera menghentikan teriakannya, hingga meminta ia berbelas kasih sedikit saja kepada diriku yang tak lagi kuat menahannya. Ia tak kenal kata ampun.
Suatu waktu, aku menangis di samping jendela. Kututup telingaku, berharap suaranya mengecil dengan usaha itu walaupun sebenarnya mustahil karena menutup telinga hanya akan meredakan suara dari luar, sedangkan ia berasal dari dalam diriku: Ia berasal dari kepalaku.
Lucu juga mengingat bahwa teriakan-teriakan itu sangat manipulatif. Ia paham betul bagaimana menghancurkan benteng pertahananku. Ia tak peduli akan tanggung jawabku, mimpiku, apalagi kasihku. Ia merenggutnya dengan paksa seolah semua adalah kuasanya. Licik.
Setiap kali ia berteriak, aku berani bertaruh bahwa aku ingin memecahkan kepalaku ke tembok agar ia berhenti melakukannya. Tak jarang aku akhirnya berteriak tak kalah kerasnya berharap ia mau mendengarkanku. Aku ingin ia keluar dari sana dan berbicara denganku. Aku ingin sekali ia mengerti bahwa teriakannya sungguh mengganggu dan menghancurkanku—hari demi hari, detik demi detik.
Teriakannya adalah bom waktu yang menggerusku dengan pasti.
Aku kerap kali tertawa miris saat teriakannya merajalela. Manusia biasanya bertengkar dengan orang lain, bukan dengan dirinya sendiri. Manusia biasanya berdebat dengan orang lain, bukan dengan dirinya sendiri. Manusia biasanya menangis karena orang lain, bukan karena dirinya sendiri.
Hidup memang tidak pernah memberikan bocoran pasti ke mana kapal kita akan berlabuh. Kita tak pernah tahu ujung perjalanan itu ada di mana. Bahkan, kita sering kali tidak benar-benar paham tempat kita berdiri kemarin, saat ini, ataupun esok pagi. Yang aku tahu pasti hanyalah ketika ujung perjalanan hidupku sampai, aku ingin berdamai. Bukan dengan semesta dan manusia lainnya, melainkan dengan kepalaku dan teriakannya yang mengganggu.
Semoga, ketika waktu itu tiba, aku melakukannya dengan cara yang baik. Bukan dengan seutas tali yang menggantungnya secara paksa. Semoga.
London, 21 Agustus 1999
Rino menghempaskan badannya ke sofa empuk di tengah ruangan. Surat itu adalah satu dari sekian banyak surat yang ia temukan di dalam kotak hitam berdebu di apartemen barunya. Tidak tertulis dengan pasti siapa penulisnya. Tidak pula ada inisial apa pun di dalam surat itu. Begitu pula puluhan surat lainnya.
Malam ini semestinya Rino membereskan ruang tamunya. Namun, kehadiran kotak hitam dan puluhan surat di dalamnya ternyata jauh lebih menarik untuk diselisik. Mereka seolah menyimpan teka-teki yang aneh dan—sedikit—mengerikan bagi Rino.
Surat yang terakhir ia baca itu membuat bulu kuduk Rino merinding. Ia membayangkan betapa aneh—dan mengerikannya—seseorang bisa bertengkar dengan kepalanya sendiri. Bukankah kita seharusnya bisa mengatur semua itu? Itu ‘kan kepala kita? Bukankah kita seharusnya punya kuasa penuh terhadapnya?
Rino menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan gusar. Ia meraih kembali surat itu. Ia membacanya kembali untuk kesekian kalinya. Ia kemudian mencoba mendekatkan surat itu dengan wajahnya untuk menemukan tanda lain yang mungkin saja tak terlihat.
Benar saja, ia menemukan tulisan kecil di bawah tanggal surat. Tulisan itu nyaris tak terlihat. Hanya ada dua kata di sana. Saat membacanya, Rino sontak menahan napasnya lebih lama daripada yang pernah dilakukannya seumur hidup.
Dua kata itu berbunyi, “Aku pergi.”
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.