Sejak kapan bayangan kita akan kehidupan yang ideal (atau setidaknya layak diceritakan) bergeser dari suatu sistem masyarakat yang indah ke kekacauan dan segregasi?

Saya tahu bahwa mengemukakan konsep ideal dan menyandingkannya dengan sistem masyarakat adalah kemuskilan yang mengarahkan kita kepada beragam jawaban tentang alternatif solusi kesenjangan sosial yang kita alami[1]. Ideal juga berbeda dari kenyataan. Dalam hal ini, ideal berkenaan dengan arti harfiahnya, yakni sebagai suatu kesesuaian terhadap cita-cita atau angan-angan. Dalam banyak hal, ideal bisa tecermin dalam produk-produk kebudayaan.

Kemampuan produk-produk budaya untuk menangkap semangat zaman tidak hanya memuat apa yang dibayangkan masyarakat tentang hasrat dan keinginan terdalam mereka, tetapi juga dapat mencerminkan realitas yang sedang terjadi dan mendorongnya ke batas ekspresi yang paling memungkinkan. Contohnya ialah karya-karya bergenre distopia.

Sebelumnya, saat tesis tentang karya sastra sebagai cerminan masyarakat dikemukakan, implikasi yang muncul adalah bahwa saat kita memahami sastra sebagai bentuk reflektif dari kenyataan, sastra bisa berkebalikan dari kenyataan. Selaiknya cermin, apa yang tampak di dalamnya memang menunjukkan situasi yang terjadi di dunia nyata, tetapi tidak sepenuhnya mampu menggambarkan kenyataan.

Mungkin semangat ini bisa kita gunakan saat menyikapi karya-karya bergenre distopia. Distopia diperkenalkan oleh John Stuart Mill sebagai kebalikan dari utopia. Utopia menggambarkan kondisi ruang dan waktu yang ideal, sementara distopia merupakan kebalikannya, yakni hal ideal tersebut berwujud pada suatu kekacauan (Booker, 1994: 3). The Hunger Games (2008) karya Suzanne Collins, The Maze Runner (2009) karya James Dashner, dan Divergent (2011) karya Veronica Roth adalah beberapa contoh karya distopia yang telah diekranisasi dalam bentuk film. Ketiganya cukup prominen sebab termasuk dalam budaya populer yang dikonsumsi masyarakat luas dan terbilang sukses.

Dalam film-film tersebut, indikasi distopia yang bisa dilihat adalah totalitarian-otoritarianisme, kesenjangan kelas, dan kolapsnya suatu sistem. Distopia menggambarkan puing-puing kemanusiaan yang dikorbankan dalam rangka mencapai utopia bagi sekelompok orang yang memegang kekuasaan (atau dianggap layak memegang kekuasaan). Hidup di Distrik 1 (dalam The Hunger Games), misalnya, membuat penghuninya bebas menyalahgunakan keleluasaan politik dan penguasaan sumber daya sehingga bentuk ekspresi yang bisa dilakukan cenderung berlebih-lebihan. Sebaliknya, penduduk di Distrik 12 sangat dekat dengan berbagai risiko pekerjaan yang berbahaya demi tetap hidup sekaligus menyuplai kebutuhan distrik-distrik lain di atasnya.

Di sisi lain, menjamurnya karya distopia mengindikasikan bahwa akhir suatu zaman lekat dengan tatanan dunia baru yang akan dibawanya. Alasan lain tentang mengapa karya-karya demikian sangat digemari terutama oleh orang-orang muda adalah karena kita merupakan generasi yang paling dekat dengan perubahan bumi. Salah satunya adalah krisis iklim. Sulit bagi kita membayangkan bahwa tatanan dunia yang kita anut selama ini akan berakhir, tetapi kita mulai beradaptasi dengan bayangan tentang masa depan dan bagaimana kita bisa bertahan di dalamnya.

Dalam memahami distopia atau karya-karya bergenre distopia, kita juga familier dengan klaim yang diajukan tentang bagaimana teknologi membentuk hierarki yang nantinya bisa memberikan efek regresif di masyarakat, seperti kembalinya segregasi ras, ketimpangan sosial yang semakin lebar, dan kepunahan. Milenial, faktanya, adalah generasi yang paling banyak menggunakan gawai (Zickuhr, 2011). Tidak heran jika kita punya bayangan yang realistis terhadap kecanduan penggunaan teknologi dan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi karenanya.

Lantas, akankah sesuatu yang kita sebut ideal bisa bergeser dari utopia ke distopia? Hal itu bisa saja terjadi saat kita berdamai dengan kemungkinan bahwa utopia selamanya tidak akan teraih (dan bahwa kehidupan setelah kematian bukan lagi “kehidupan”) dan mulai mempersiapkan diri untuk skenario terburuk yang mungkin terjadi. Dengan demikian, memahami distopia bisa menjadi antisipasi untuk solusi bertahan hidup pada masa mendatang.

Sejauh ini, karya-karya bergenre distopia masih mengunggulkan kemampuan fisik dan kekuatan mental tokoh-tokohnya untuk bertahan hidup dalam kondisi yang amburadul. Jika dimanfaatkan dengan baik, kemampuan tersebut dapat menginisiasi perpindahan ruang dan penghancuran sekat-sekat yang selama ini membekap tokoh-tokoh dalam ketidakberdayaan. Protagonis menjadi corong suara masyarakat dan simbol perjuangan yang absolut.

Pada saat seperti ini, saya membayangkan fungsi dan peran penggerak-penggerak kebudayaan dalam masa peralihan tersebut. Jika melihat contoh-contoh karya distopia yang tadi saya kemukakan, hampir tidak terlihat tokoh-tokoh yang memahami bahwa rancangan terhadap kehidupan setelah penggulingan kekuasaan justru terletak pada konstruksi sosial dan budaya masyarakat. Sebaliknya, revolusi yang dibawa serbacepat, praktis, dan brutal sebab kritik tidak lagi bisa disuarakan. Lucu rasanya menemukan bahwa distopia banyak tampak dalam produk-produk budaya, tetapi perjuangannya sama sekali mengabaikan kebudayaan.

Mungkin saat kita bisa mengikir pensil menjadi anak panah dan menyemen buku dengan batu koral, barulah kita bisa turut serta merebut ruang yang sempat dibungkam. Namun, selama kita masih belum berada dalam desperada tersebut, sah-sah saja rasanya menggambarkan distopia sebagai bentuk eskapisme yang tidak inklusif.

 

Referensi:

Booker, Keith. 1994. Dystopian Literature: A Theory and Research Guide. Connecticut: Greenwood Press.

Collins, Suzanne. 2008. The Hunger Games. Pennsylvania: Scholastic Corporation.

Dashner, James. 2009. The Maze Runner. New York: Dell Publishing.

Roth, Veronica. 2011. Divergent. New York: HarperCollins.

Zickuhr, Kathryn. 2011. “Generations and Their Gadgets”. https://www.pewresearch.org/internet/2011/02/03/generations-and-their-gadgets/#:~:text=In%20terms%20of%20generations%2C%20Millennials,a%20wider%20range%20of%20functions. Diakses pada Kamis, 3 Februari 2022 pukul 12.33 WIB.

[1]      Ideal      memberlakukan syarat; prakondisi dan praanggapan yang subtil.      Ideal      tidak juga bisa disamakan dengan suatu kondisi yang sesuai terkait variabel yang mengikuti. Tidak cair, tidak juga kaku.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.