Asep Sambodja dalam blognya menulis bahwa A. Teeuw menyikapi media massa yang banyak memuat karya sastra, terutama puisi. “Seorang sastrawan tidak lagi memiliki kendala waktu harus menunggu sekian minggu atau sekian bulan lagi untuk melihat karya sastranya tampil di depan publik. Dengan adanya internet, karya sastra muncul setiap saat.” Asep Sambodja juga dalam blognya mengatakan bahwa ada atau tidaknya redaktur sastra atau “polisi sastra” di internet bukan merupakan kendala karena sastrawan cyber bisa mengirimkan karyanya ke mana saja, bahkan menyusunnya dalam situs pribadi.

Satu hal yang penting yang kadang luput dari perhatian pengguna cyber ialah mereka yang suka mengunggah puisi-puisi sastrawan tidak mencantumkan nama pengarang/penulisnya. Itu menyebabkan kehidupan sastra cyber disebut tidak memperhatikan masalah plagiarisme. Jika tidak ada edukasi dan langkah pencegahan terhadap hal tersebut, masalah ini akan menjadi masalah yang serius dan makin tumbuh. Orang-orang mengunggah karya sastra orang lain tanpa mencantumkan nama penulisnya.

Berbicara sastra cyber, ada sebuah permasalahan menarik yang patut dibahas dalam tulisan ini. Perdebatan mengenai sastra internet versus sastra koran-majalah melibatkan Saut Situmorang, seorang sastrawan terkenal, dan Maman S. Dalam web boemipoetra.wordpress.com, Saut menulis tanggapan terhadap tulisan Maman mengenai sastra cyber. Sebelumnya, dalam tulisannya mengenai sastra cyber yang diterbitkan Kompas 22 April 2017, Maman menulis bahwa sastra cyber memiliki kecenderungan yang sama dalam karakteristik. Sebagian besar karya sastra cyber bersifat instan, ahistoris, narsistik, tanpa seleksi, dan tanpa kritik yang baik meskipun ada saja tulisan yang potensial dan bergizi. Maman mengatakan bahwa karakteristik tersebut tidak terlepas dari sifat media sosial yang cair, tanpa sekat, bebas, dan tanpa legitimasi. Menurut Maman, proses seleksi sebagai penyair, cerpenis, atau kritikus dimulai dari redaktur, lalu berkarya secara konsisten, berkelanjutan, dan bertahan menghasilkan karya berkualitas. Sedangkan menurut Maman, generasi Facebook tidak mengalami persaingan ketat dan seleksi seperti itu. Mereka instan dan tak belajar kesabaran.

Untuk menanggapi tulisan Maman mengenai sastra cyber tersebut, Saut mengkritik dengan cukup keras. Pada awal tulisannya, Saut menulis “Membaca catatan kebudayaan Maman S. Mahayana yang berjudul Kritikus dan Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia di Kompas 22 April 2017 cuma membuat saya geleng-geleng kepala saja karena tulisannya itu penuh dengan klise. Daur ulang yang itu-itu saja dari zaman jahiliyah sastra kertas koran-majalah.”

Menurut Saut, sungguh abstrak jika pada zaman sekarang masih ada kritikus yang mempersoalkan sastra di internet. Saut mengatakan bahwa adalah sebuah hal yang kampungan menyebut Facebook sebagai contoh karya sastra. Ia mengatakan “Karena sifat publiknya itu (public sphere) sah-sah saja pemakaiannya bertingkah sesuai dengan milieu pertemanannya, sesuai dengan latar belakang sosial, kultural, pendidikan, dan umur. Membandingkan Facebook sebagai sebuah media bergaul dengan koran apalagi majalah yang khusus menerbitkan karya sastra sama saja dengan kurang kerjaan dan cari perhatian!”

Selanjutnya Saut menentang bahwa seleksi ketat redaktur bukanlah segalanya, dan belum ada penelitian yang menunjukan bahwa seleksi ketat redaktur  adalah ciri khas sastra koran-majalah. Bisa saja seorang redaktur itu hanya kebetulan ditunjuk sebagai redaktur sastra dan sewaktu-waktu bisa dipindahkan ke bidang lainnya. Artinya, redaktur juga tidak melulu orang yang kredibel di bidangnya. Sebab jika benar seleksi ketat redaktur itu ada, Saut mempertanyakan mengapa bisa terjadi skandal pemuatan tulisan-tulisan plagiarisme di koran atau majalah. Saut juga mempertanyakan apakah karya sastra di koran memiliki kualitas yang lebih bagus jika dibandingkan tulisan-tulisan yang terdapat di Facebook, kemudian ia menentangnya karena merasa bahwa tidak ada jaminan, bahkan penelitian yang menyebutkan bahwa kualitas karya sastra di koran-majalah lebih baik daripada cyber. Saut menegaskan bahwa Maman tidak mampu melepaskan keterpesonaannya terhadap H.B. Jassin. Saut menganggap tulisan Maman tersebut menghancurkan mutu “catatan kebudayaan” seorang kritikus sastra. Tulisan Maman dianggap tidak pantas mengisi halaman kebudayaan koran apalagi sekeramat Kompas.

Demikianlah keberadaan sastra cyber, baik untuk menularkan maupun untuk menghidupkan sastra di Indonesia. Perdebatan antara Maman S. Mahayana dan Saut Situmorang juga merupakan dampak dari munculnya sastra cyber. Berkarya kemudian dipublikasikan melalui cyber bukanlah suatu hal yang salah, meski kadang orang-orang dalam media sosial menyukai sebuah karya sastra hanya karena karya sastra tersebut mewakili perasaanya. Namun, semoga itu menjadi dampak yang panjang bagi minat seseorang terhadap sastra yang tentunya tetap menjunjung tinggi hak-hak pengarang atau sastrawan-sastrawan yang sudah menulis dengan baik dan menghindari plagiarisme.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.