Aku adalah Kamu
“Katanya, bermimpi itu penting. Aku sepakat. Katanya pula, sukses itu dimulai dari langkah sederhana. Aku sepakat. Semua diawali dari berimajinasi, membayangkan, dan kemudian menyusun strategi sebelum meraihnya. Aku tentu sepakat pula. Tapi realitanya, tidak sesederhana itu, ‘kan? Tidak semua mimpi bisa dicapai. Tidak semuanya akan terjadi seperti yang kita inginkan.”
Hari itu, kamu mengoceh panjang sekali. Kalau kuhitung-hitung, hampir 1 jam kamu berbicara. Semua berawal dari surel pemberitahuan siang ini: kabar penolakan dari kegiatan nasional. Padahal kamu sudah mempersiapkannya sejak setahun yang lalu. Baru saja pesan berisi pengumuman itu masuk ke surelmu. Dan, dengan setengah tergesa, kamu memaksa ingin bertemu. “Sedang ada yang ingin kubicarakan,” begitu katamu tadi. Dari getar suaramu, aku tahu, kamu sedang tidak baik-baik saja.
“Dulu, aku memulainya dari langkah sederhana. Menulis, dulu rasanya menyenangkan. Apresiasi orang-orang sudah cukup membuatku bersemangat lagi. Tapi, kenapa makin kesini, potensiku makin tidak berkembang?” Kamu menatap lurus, minta didengarkan.
“Kayaknya aku udahan, deh. Sudah cukup,” ujarmu setengah tegas. Kepalamu tegak, matamu berkilat-kilat seolah serius, padahal aku tahu, kamu tidak bermaksud bergitu.
“Aku sudah lelah, capek, enggak habis pikir, kenapa semua karyaku ditolak. Di sini ditolak, di situ ditolak. Aku gak pernah bisa nyaingin siapa-siapa. Aku gak bisa ngalahin si Rara yang sekarang sudah jadi penulis hebat. Dulu, kata-katanya seperti kentut saja: omong kosong dan bualan. Tapi, sejak bukunya laku di pasaran, kentutnya jadi harum. Ke mana-mana diomongkan, dibuatkan parodi, dijadikan quotes-quotes andalan.” Kamu melengos. “Aku? Hah! Bahkan, lulus mentoringnya saja tidak bisa.”
Aku memandangmu lekat-lekat. Kali ini jedamu terasa lama, ditambah napas berat yang berkali-kali kamu embuskan dengan terpaksa. Wajahmu perlahan memerah. Ah, aku tahu, ini kode alam saat wanita berada di titik terjengkel. Kamu akan menangis.
Benar saja, di sudut matamu, tetes-tetes air mulai menggumpal. Kali ini napasmu tertahan. Dadamu naik-turun kaku, seperti sedang ada gemuruh yang tertahan di dalamnya. Akhirnya, pertahananmu kalah. Kamu pasti sudah terlalu lelah sampai tidak sanggup lagi menahannya. Kamu menunduk dan lekas-lekas menutup matamu dengan tangan kanan. Itu tanda kalau sesuatu sudah mengalir deras tanpa bisa dibendung lagi.
Dua-tiga menit berlalu, kepalamu tidak terangkat juga. Sesenggukan mulai terdengar samar. Ah, rasanya berat sekali melihat kamu hari itu. Tangan kirimu yang sedari tadi menggenggam badanmu, kini beralih. Kedua tanganmu sekarang persis menutup wajahmu. Kamu mengunci diri untuk tidak terlihat dan tidak terdengar. Kamu kecewa tingkat berat. Masa hanya gara-gara tidak lulus, saja?
“Aku benci!” teriakmu tertahan.
Siapa?, gumamku dalam hati.
“Ah! Aku benci!” rengekanmu semakin menjadi. Sayangnya aku benar-benar belum memahami posisimu di sini. Haruskah kamu kubela? Tapi kubela atas apa? Ini bukan masalah sengketa, bukan pula tentang yang benar atau salah. Haruskah pihak penyelenggara yang kusalahkan? Tapi, ini ‘kan seleksi? Memang, ibarat perlombaan, menang-kalah, lolos-tidak, selalu ada yang bertahan dan tersisih. Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas air matamu itu?
“Aku benci kamu!” Kali ini kamu mengangkat kepala. Matamu sembab setengah merah, menatapku dengan tajam. Pipimu sempurna basah.
Aku terkesiap. Kamu membenci aku?
Ada apa denganku? Kenapa aku yang harus disalahkan dari keputusanmu mengikuti seleksi itu? Kenapa pula aku yang menjadi sasaran ketidakpuasanmu atas hasil yang kauterima? Aku butuh penjelasan itu sekarang juga.
“Hei. Siapa yang memaksamu untuk ikut? Kenapa kamu malah membenci aku? Kamulah yang memutuskan untuk ikut. Kamu pula yang bersusah-susah mengikuti alur seleksinya dari awal. Lalu, kenapa tidak bisa berdamai dengan kenyataan kalau kualifikasimu memang kurang untuk dipilih? Padahal, ini bukan kegagalan pertama, tapi kenapa kamu selalu frustrasi sampai mau gila begini?” giliran aku yang tidak sabar melihat tingkahmu yang semakin tidak menentu.
“Belajarlah! Bersabar! Belajar lagi! Bersabar lebih lama lagi. Jangan mengutuk-ngutuk diri dan keadaan. Jangan cepat menyerah. Nanti Tuhan marah!” aku berbalik emosi melihat kamu yang tidak berhenti menangis. “Jangan membanding-bandingkan diri. Lihat semua yang sudah kamu miliki, bersyukurlah sedikit, heh! Jangan berbangga hati, tapi jangan pula menyiksa diri seperti ini.”
“Nikmati prosesnya. Tidak pernah ada yang berjanji proses ini akan berlangsung cepat, tidak pula berjanji kalau ini akan berakhir nikmat. Tapi, percayalah ada sesuatu di depan sana yang akan mengganti kekecewaanmu hari ini. Lihat apa yang akan terjadi kalau kamu tidak menyerah sekarang. Percaya saja! Percaya aku, tidak?” emosiku meledak, tidak tertahankan lagi.
Kamu luluh. Tangismu mereda. Kilatan matamu berubah meredup. Aku tahu, perasaanmu pasti sedang campur aduk saat ini. Kamu sedang lelah dan kecewa. Diujung sisa tangis, kamu paksa sekali untuk tersenyum. Alih-alih, wajahmu terlihat makin kusut. Aku tahu betul, kamu sedang bergelut dengan rasa bersalah dan hati yang ingin tabah.
Kamu mendongak, menarik napas panjang sekali lagi. “Terima kasih, ya, sudah mendengarkan. Besok kita coba lagi,” kamu menyeka matamu dengan punggung tangan. Sekali lagi, mencoba tersenyum, meskipun terkesan tertahan,
“Iya, pasti! Tidak akan ke mana-mana, kok. Besok kita coba lagi, ya.” Aku mengangguk, memantulkan bayanganmu yang juga mengangguk di sisi berlawanan cermin. Seutuhnya aku mendukung kamu, meskipun kita lebih sering bertindak bodoh daripada menuai bijak.
“Jangan lupa baca bismillah.” Kali ini senyummu kubalas lebih manis. Aku akan selalu ada di sisimu, tidak akan pernah berpaling, karena aku adalah kamu.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.