Arga
Apakah kamu pernah punya penyesalan yang teramat besar?
Aku pernah. Penyesalan yang kerap menghantuiku hingga hari ini. Aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu seumur hidupku.
Aku seorang guru matematika di sebuah sekolah (SMP). Sebagai guru, aku memiliki kebiasaan yang berbeda dari guru lain hingga akhirnya kebiasaan tersebut menjadi ciri khasku. Aku selalu memukulkan penggaris kayu yang panjangnya satu meter ke meja murid paling depan yang berada di dekat pintu kelas. Aku selalu melakukannya ketika memasuki ruang kelas agar para murid menghormati dan tidak meremehkanku.
Sama seperti pagi itu. Sejenak suasana menjadi hening setelah kupukulkan penggarisku ke meja. Para murid sontak menyambut kedatanganku.
“Bersiap, memberi salam,” seru Mirza, selaku ketua kelas.
Selanjutnya dijawab oleh seluruh murid kelas XI IPS 1, “Selamat pagi, Pak.”
Tak sempat aku menjawab salam tersebut, pandanganku tertuju pada murid bertubuh kurus yang sehari-hari berwajah pucat. Dia Arga, satu-satunya murid yang mendapat beasiswa penuh dari sekolah karena langganan menjadi juara nasional pencak silat tingkat remaja.
“Duduk!” perintahku kepada para murid. “Saya tidak akan memulai kelas jika masih ada yang tertidur di kelas ini. Bangunkan atau kalian semua mendapat nilai lima pada ujian nanti.”
“Arga, bangun, Ga. Pak Marpaung udah datang.” Mirza membangunkan Arga yang duduk tepat di sebelahnya. Arga masih tertidur dengan menundukkan kepalanya pada kedua tangan yang ia lipat di atas meja. Namun, Arga tak juga bangun dari tidur lelapnya.
Wajah marahku kuarahkan pada Arga yang tetap tidur meski temannya sudah mengguncangkan tubuhnya dengan keras.
GEDEBUG!
Tiba-tiba saja tubuh Arga terjatuh dari kursinya akibat guncangan keras Mirza yang berusaha membangunkannya.
“Argaaaaa!” teriak anak perempuan di sebelahnya.
Kuhampiri Arga yang terjatuh ke samping kanan mejanya. Kudekati ia dan kucoba membangunkannya. Namun, Arga tak kunjung memberikan respons.
Kuangkat badannya dengan maksud memeriksa keadaannya. Sayang, tubuhnya sudah dingin. Arga sudah pergi untuk selamanya. Ia meninggal dalam tidurnya.
Arga, anak yang selalu kuanggap murid malas karena tak pernah mendapat nilai bagus pada pelajaran matematika. Anak yang harus melakukan kerja paruh waktu untuk membayar biaya pendaftaran berbagai pertandingan pencak silatnya. Anak yang selalu tertidur di kelas karena terlalu lelah belajar, berlatih, dan bekerja. Anak yang ternyata sedang berjuang melawan penyakit diskalkulia. Ia, anak tunggalku.
Pudila
Jakarta, 2-10-21
Penulis : Essy Pudila
Penyunting : Shafira Deiktya
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 9
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.