Bersemi
Rombongan kecil tampak mendarat di Pulau Dewata ketika matahari hampir berada di atas kepala. Jumat cerah November itu merupakan hari pertama dari wisata tiga hari kantor mereka di Bali. Ini merupakan tahun kedua perusahaan rintisan bidang teknologi informasi itu melakukan riung kantor, setelah tahun lalu mereka pergi ke Kota Gudeg.
Nia, sang direktur utama, seperti biasa sibuk mengatur rombongan. Meski tampak seperti anak kuliah dengan kaus kutung putih dan celana pendek khaki, suaranya tegas menggiring rombongan dari mulai menunggu koper hingga masuk ke mobil sewaan. Dua belas orang anggota rombongan itu akhirnya meninggalkan padatnya Bandara Ngurah Rai menuju hotel mereka di Kuta.
“Hotelnya sudah dikontak?” tanya Nia dengan ekspresi tegang kepada Andi yang duduk di sebelahnya.
Andi mengangguk sambil menatap Nia. Andi tidak pernah bosan memandang wajah atasannya yang jarang tersenyum itu meski mereka sudah hampir dua tahun bekerja bersama. Sebagai direktur keuangan di perusahaan itu, Andi harus sering berdiskusi dengan Nia tentang berbagai hal dengan alot dan panas. Untunglah, pembawaan Andi hampir selalu dapat menenangkan ketidaksabaran Nia yang lebih muda sekitar tiga tahun darinya.
Sore itu rombongan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di Kuta. Kecuali Nia dan Andi, anggota lain dari kelompok itu rata-rata berumur pertengahan dua puluhan. Mereka dengan bersemangat keluar masuk berbagai macam toko tanpa mengenal lelah. Ketegangan Nia pelan-pelan mengendur dan ia pun tersenyum beberapa kali melihat polah rekan-rekan kerjanya.
Malam itu mereka makan di Warung Made, restoran favorit Nia. Lagi-lagi, Nia memegang kendali dengan memesankan makanan untuk semua orang.
“Kamu enggak bisa santai, ya? Kita, kan, lagi liburan,” kata Andi sambil tersenyum kepada Nia.
“Aku santai, kok,” jawab Nia sambil mengernyitkan kening.
Andi tertawa lebar. Dia tidak mau merusak malam yang penuh canda itu dengan perdebatan yang tidak perlu.
Pada Sabtu pagi, rombongan sudah bersiap di depan hotel menunggu jemputan. Hari itu mereka berencana untuk mengunjungi berbagai objek wisata. Ketika mobil tiba, Andi dengan sengaja kembali memilih duduk di samping Nia. Aroma vanila yang menguar dari Nia merupakan wangi kesukaannya. Ia pun menyukai sentuhan-sentuhan kecil yang timbul ketika mereka duduk berdekatan.
Tiba-tiba mobil mengerem dengan mendadak. Sebuah motor menyalip mobil mereka. Hampir semua penumpang berteriak kaget. Andi merasa tangan Nia meremas tangannya dengan keras.
“Maaf, aku kaget,” kata Nia dengan wajah bersemu merah sambil segera melepaskan cengkeramannya pada tangan Andi.
“Enggak apa-apa. Aku juga kaget, kok,” jawab Andi. Dalam hati, ia berharap mobil itu mengerem mendadak lagi. Sepanjang sisa perjalanan, mereka tidak banyak berbicara dan mobil pun tidak pernah mengerem mendadak lagi.
Tempat terakhir yang mereka kunjungi hari itu ialah Pura Uluwatu. Hawa damai langsung terasa ketika memasuki kompleks pura dengan angin laut yang semilir dan suara debur ombak sayup-sayup dari bawah tebing. Hangat mentari sore dengan sinarnya yang perlahan meredup merah, jingga, dan ungu menambah kekhusyukan suasana.
Andi sengaja berjalan dengan pelan di jalan setapak pura sambil berharap Nia menjajarinya. Harapannya terkabul. Mereka berjalan sambil berbincang dan sesekali tertawa bersama. Seolah tak sengaja, Andi beberapa kali menyentuh tangan Nia. Tiada penolakan yang dirasakan oleh Andi dari Nia.
Telepon Andi berbunyi. Istrinya menelepon.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.