Hari ini hujan turun sangat lebat. Perempuan itu menggerutu sembari melihat sepatunya yang kotor terkena genangan air. “Kalau saja hari ini aku dijemput Ayah, pasti sepatuku tidak akan kotor seperti ini,” gumamnya dalam hati. Lagi-lagi sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak pada perempuan itu. Baru berjalan beberapa langkah menuju halte bus, datang sebuah motor berkecepatan lumayan tinggi yang melewati genangan air persis di sebelahnya. Sontak perempuan itu berteriak, “Heh, kalau lewat genangan pelan-pelang, dong! Ga lihat emang ada orang di samping?” ucapnya dengan nada tinggi. Ia lantas membersihkan tas dan pakaiannya yang terkena cipratan air sembari lanjut berjalan ke kursi halte.

Seakan memiliki energi yang tidak ada habisnya, perempuan itu terus mengoceh tentang kesialan yang ia alami hari ini. Tanpa ia sadari, ada seorang anak perempuan yang dari tadi memperhatikannya. Usianya mungkin baru sekitar dua belas tahun. Ia duduk tak jauh dari perempuan itu. Lama kelamaan perempuan itu merasa ada yang memperhatikannya. Ia melirik ke arah anak tersebut sembari bertanya dengan ketus.

“Apa lihat-lihat?” tanya perempuan itu.

Anak tersebut terdiam sebentar lalu berkata, “Baju Kakak basah. Aku ada tisu, nih, Kak. Coba keringin pakai tisu ini.”

Ia menyodorkan satu bungkus tisu. Tangan satunya terlihat sedang menggenggam tiga bungkus tisu juga.

Enggak perlu. Percuma saja, bajuku tetap kotor,” balas perempuan itu masih ketus.

“Seenggaknya baju Kakak enggak basah. Nanti masuk angin, lo,” anak tersebut bersikeras memberikan sebungkus tisu yang ia genggam. Akhirnya, perempuan itu menerima tisu yang disodorkan dengan ragu-ragu.

“Tisu ini dijual? Aku beli aja deh, ya,” ucap perempuan itu sembari merogoh isi tasnya.

“Iya, tapi ngga apa-apa itu buat Kakak aja. Gratis,” balasnya.

Karena merasa kasihan, perempuan tersebut tetap memberikan selembar uang. “Ini. Aku nggak enak kalau gratisan,” akhirnya anak itu menerima uang yang disodorkan kepadanya.

“Sudah berapa lama kamu berjualan tisu?” tanya perempuan itu kemudian.

Hmm, sejak saya berusia tujuh tahun. Sekarang saya sebelas tahun berarti sudah empat tahun, Kak,” jawab anak itu.

“Kamu sekolah?”

Engga, Kak. Untuk makan saja susah, apalagi sekolah.”

Perempuan itu terdiam. Emosi yang tadinya menguasai seluruh dirinya mendadak sirna tergantikan rasa iba.

“Tapi, biasanya ada kakak-kakak yang suka dateng terus ngajar, sih, Kak. Mereka biasanya bawa buku bacaan juga, jadi saya bisa baca dan nulis sedikit-sedikit,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Setiap hari kamu jualan di sini? Kalau hujan tetap jualan juga?”

Anak itu terkekeh. “Iya, Kak. Cuaca apa pun saya tetap jualan.”

Perempuan itu mengamati dengan saksama. Baju yang dikenakan anak itu basah dan lusuh. Kalau dibandingkan dengan baju yang sedang ia kenakan jelas jauh berbeda. Baju dan tasnya yang terkena cipratan genangan air tadi tidak ada apa-apanya dibanding kondisi baju anak itu. Seketika perempuan itu dipenuhi rasa penyesalan.

“Kak, kenapa melamun? Saya izin pergi duluan, ya. Mau lanjut jualan lagi,” anak itu berpamitan sambil tersenyum.

“Eh, iya, maaf. Silakan, dek. Terima kasih, ya, udah nawarin tisunya,” ucap perempuan itu sambil tersenyum.

“Saya yang harusnya berterima kasih karena Kakak udah beli tisu yang saya jual. Hati-hati di jalan, ya, Kak,” anak itu melambaikan tangan sambil berjalan menjauhi halte.

Perempuan itu terdiam sambil mengamati punggung anak itu yang terus menjauhi halte. “Aku sangat tidak bersyukur dan malah buang-buang energi dengan emosi,” gumamnya. Setelah kejadian itu, ia menjadi seorang perempuan yang selalu mensyukuri hari-harinya. Baik senang maupun sedih, ia selalu berusaha untuk melihat sisi baik dari setiap kejadian yang ia alami.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.