Loper Koran
Tiga hari sudah aku tidak membaca koran. Biasanya, suara motor Pak Binsar sudah terdengar dari jauh pada sekitar pukul 6.15 pagi. Loper koran itu selalu tepat waktu mengantar koran ke rumahku, bahkan ketika cuaca tidak bersahabat.
Sejak kecil aku terbiasa membaca koran cetak langganan ayahku. Ketika pindah ke rumah sendiri setelah menikah, koran digital sudah marak. Aku mulai terbiasa untuk membaca koran melalui ponsel. Namun, ada kenikmatan yang kurindukan dari membaca koran cetak.
Membuka koran dari bungkusnya, merasakan kesat kertasnya, hingga menghidu aroma khasnya merupakan hal-hal yang membuatku sebenarnya lebih memilih koran cetak. Mata plus paruh bayaku juga lebih nyaman membaca dari kertas koran daripada dari layar laptop atau ponsel.
Tidak lama setelah pindah rumah, aku duduk di teras depan rumah sambil membaca koran dari ponsel. Kesenyapan pagi itu tiba-tiba terganggu oleh suara motor yang berhenti di rumah tetangga depan rumahku. Dengan memelankan laju motornya, seorang lelaki tua tampak melemparkan koran yang dibungkus plastik bening ke halaman rumah itu.
Aku mengejar dan memanggil lelaki itu. Loper koran itu menghentikan motornya dan membalikkan badannya menghadap ke arahku. Aku menyapanya dan mengatakan niatku untuk berlangganan koran. Dengan muka cerah dan senyum mengembang, dia mengiyakan permintaanku.
Sejak itu, tiap hari Pak Binsar dengan setia mengantar koran ke rumahku pada waktu yang sama, kecuali pada tiga hari terakhir ini.
***
Jumat dan Sabtu kulalui lagi tanpa kiriman koran Pak Binsar. Pada Minggu pagi, terdengar ketukan di pintu pagarku. Seorang lelaki berdiri menunggu di samping mobil Avanza.
“Selamat pagi, Pak. Maaf, mengganggu. Nama saya Arkan. Saya anak Pak Binsar,” katanya memperkenalkan diri dari balik pagar. “Ayah saya wafat tiga hari yang lalu karena kanker. Maaf, saya baru sempat ke memberitahukan hari ini.”
Arkan bercerita bahwa sekitar dua bulan yang lalu, ayahnya mengaku sedang menjalani terapi kanker tenggorokan. Ia heran dari mana ayahnya mendapat uang untuk membiayai terapi itu. Ternyata, Pak Binsar menjadi peserta BPJS Kesehatan dan rutin menyisihkan penghasilannya untuk membayar iuran.
Arkan melanjutkan, “Ayah sudah berjualan koran lebih dari tiga puluh tahun. Dari sana, Ayah menyekolahkan saya dan kakak saya Togar hingga kami menjadi sarjana. Setelah lulus, kami bekerja sebagai pegawai negeri. Ketika Ibu meninggal dunia lima tahun yang lalu, sebenarnya kami sudah meminta Ayah untuk berhenti menjadi loper dan tinggal bersama kami, tetapi Ayah menolak. Katanya, dia bisa cepat tua kalau tidak bekerja.”
Ketika berpamitan, Arkan berkata, “Saya dan kakak saya memutuskan untuk melanjutkan usaha Ayah. Kalau Bapak masih mau, kami akan tetap mengirim koran ke rumah Bapak.”
Tentu saja aku jawab mau. Kenikmatan membaca koran cetak belum bisa digantikan oleh koran digital.
***
Aku termenung setelah Arkan pergi. Aku teringat penolakan kerasku beberapa hari yang lalu terhadap permintaan Siti—manajer SDM di perusahaan rintisanku—untuk mendaftarkan perusahaan kami sebagai peserta korporat di BPJS Kesehatan.
Aku mengambil ponsel dan mengetik pesan WhatsApp, “Siti, besok tolong daftarkan perusahaan kita ke BPJS Kesehatan.”
*** TAMAT ***
Catatan: Bentuk lengkap cerpen ini dikirimkan kepada BPJS Kesehatan sebagai bagian dari kegiatan sebagai juri dalam Lomba Cerpen JKN.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.