Maaf
Suara hujan di sore itu tidak mengganggu proses operasi Mama yang sudah berjalan 2 jam. Di ruang tunggu, Amanda, seorang perempuan muda dan keluarga Mama satu-satunya di ruangan itu, menunggu dengan letih sambil melihat layar ponselnya. Entah kenapa, akun Instagram seorang laki-laki bernama Tomi membuat dirinya terpaku melihat layar begitu lama. Hampir 10 menit sudah Amanda memandangi semua unggahan foto dari pria yang sedang berkuliah di Jepang tersebut. Raut mukanya memperlihatkan keingintahuan, tetapi cepat-cepat berubah menjadi masam.
“Satu operasi lagi dan semoga Mama sudah sehat, ya,” Amanda mengeluarkan kopi instan yang sudah dibelinya di minimarket tadi siang. Sudah tidak tidur semalaman, tetapi harus jaga Mama, pikirnya.
“Amin, Dek. Mama ingin lekas sehat dan bisa berkumpul dengan kamu dan Kakak.”
Amanda hanya menghela napas mendengar perkataan ibunya. Ia menenggak kopinya dan bertanya-tanya kenapa Mama selalu merindukan kakaknya yang tidak jelas kabarnya itu.
“Kenapa masih berharap sama Tomi, sih, Ma? Mama tahu sendiri dia sudah nggak pulang lama sekali. Biarkan saja hilang di Jepang. Mama sakit seperti ini saja Tomi nggak pulang. Jahat, ya.”
“S2 Tomi baru saja selesai awal tahun, dan tiba-tiba ada pandemi seperti ini. Pastilah Tomi nggak bisa pulang. Tomi itu selalu berkabar dengan Mama. Kamu saja yang nggak mau bicara dengannya. Sudahlah, Man. Kenapa kalian tidak berubah. Setelah enam tahun, apakah kamu masih betah seperti ini?”
Amanda tidak mengindahkan pertanyaan Mama. Dia berpura-pura sibuk membaca The Mill on the Floss, buku kiriman dari Ara, sepupunya yang sudah seperti saudara kandung sendiri. Ara selalu mengirim berbagai macam kado unik. Kali ini, tidak ada angin dan hujan, ia mengirim buku era Victoria yang bercerita tentang kakak-adik yang tidak akur. Katanya, buku tersebut bisa menjadi teman Amanda selama mencari kerja.
“Yang benar saja, Ra,” kata Amanda dalam hati seraya mendengus.
Amanda dan Tomi memang membuat seluruh keluarga besar Mama terheran-heran, karena hanya dengan satu malam, enam tahun lalu, keakraban keduanya seakan hilang ditelan bumi. Sikap kakak-adik ini menjadi dingin kepada satu sama lain dan tidak ada yang tahu sebabnya. Jika ditanya alasan di balik pertengkaran itu, Amanda selalu berkata, “Tomi sangat kaku dan keras kepala, sedangkan aku suka kebebasan. Susah untuk jadi akrab seperti dulu,” pungkasnya. Tomi pun sama saja, jawabannya bahkan lebih singkat, “Aku malas dengan Amanda.”
Pertengkaran mereka semakin buruk dengan kepergian Tomi ke Jepang untuk melanjutkan S2. Meskipun tidak berkomunikasi, tiada hari bagi Amanda dan Tomi tanpa menjelek-jelekkan satu sama lain di depan Mama. Keduanya seakan tidak bisa diam memaparkan hal negatif yang dimiliki. Amanda selalu marah jika mendengar nama Tomi, begitu pun Tomi yang sering memutus panggilan video saat Mama mulai membicarakan Amanda.
Tetapi, tiada hari bagi mereka berdua tanpa mengecek medsos satu sama lain secara diam-diam. Jauh di dalam benak, Amanda selalu ingin tahu tentang kehidupan Tomi di Jepang. Apakah Tomi sudah punya pacar? Apakah ibu indekos Tomi galak? Apakah Tomi makan kenyang di sana?
Tomi pun bertanya-tanya apakah Amanda masih berpacaran dengan Bram, si gitaris kribo yang tak punya malu itu? Apakah adiknya masih sering menangis karena tugas menumpuk? Atau, apakah Amanda sudah mendapat pekerjaan?
Ya, kerinduan yang dalam tetap saja tertutup dengan satu kata menyakitkan yang dilontarkan enam tahun lalu, dan tidak akan pernah dilupakan keduanya. Terkadang, kekecewaan membuat manusia menolak untuk memberikan maaf.
***
Tiga hari setelah operasi itu, Mama meninggal dunia di rumah sakit. Meskipun tahu umur Mama tidak akan bertahan lama, Amanda tetap saja terpukul dengan kepergian yang baginya sangat tiba-tiba.
“Aku harus bagaimana? Aku cuma punya Mama,” isaknya di malam ibunya mengembuskan napas terakhir. Cukup lama terlintas dalam benaknya apakah Tomi akan pulang, tetapi hal tersebut segera ia singkirkan dengan mengurus pemakaman bersama dengan anggota keluarga yang lain.
Tomi hanya peduli dengan dirinya sendiri. Dia nggak akan pulang. Pasti pandemi jadi alasan supaya dia nggak pulang. Amanda mencoba meyakinkan dirinya sendiri sambil membereskan tempat tidur Mama.
Sebelum pemakaman ibunya, Amanda mengurung diri di kamar dan menolak untuk bertemu semua orang. Ini kiamat yang dipercepat, ya? Sudah merantau, jadi pengangguran, tidak punya orang tua, apalagi? Amanda masih terus menangis sampai terdengar ketukan pintu dari luar kamarnya.
Amanda hanya terdiam seiring pintu terbuka. Di baliknya ada seorang laki-laki dengan jaket parka dan muka yang kalut, sepertinya kurang tidur dan matanya pun sembab. Yang tidak asing dari penampilannya adalah bekas luka di pipi yang Amanda ingat betul disebabkan oleh keusilan dirinya sebagai adik perempuan saat kecil dulu.
Tomi memeluk adiknya sembari menangis kencang, begitu pun Amanda yang sudah lebih dulu berlari merangkul kakaknya. Mereka menangis dalam diam.
“Kamu masih punya aku, Man,” ujar Tomi terisak.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.