Allahu AkbarAllahu Akbar

Azan subuh berkumandang dari aplikasi ponselku. Suaranya lirih, sengaja diatur aktif untuk mengingatkan waktu beribadah yang berubah sepanjang musim. Sekarang masih pukul 4 pagi. Segera aku menuju kamar mandi, berwudu. Sejak menginjakkan kaki di Eropa, tepatnya di daerah Cambridge dua tahun lalu, aku sudah membiasakan diri untuk memantau waktu beribadah melalui ponsel. Kiblat pun begitu. Dengan sekali ketuk melalui aplikasi, aku bisa melihat radar yang menyambungkan posisiku dengan Ka’bah.

Dua rakaat rawatib sebelum subuh, dilanjutkan dengan salat subuh, ditutup dengan ibadah zikir pagi. Hari ini tepat hari Minggu dan jadwalku kosong. Tugas portofolioku sudah selesai beberapa hari yang lalu dan, kabar baiknya, sudah diterima pembimbingku. Sambutannya luar biasa. Katanya, ini bisa membuka peluang penelitian yang lebih dalam dan pamorku bisa naik di kalangan mahasiswa asing. Maklum, di dunia perantauan ini, berilmu dan berelasi adalah dua hal penting. Dengan segera, dia menandatangani tesisku dan merekomendasikan aku untuk menerbitkan jurnal setelah tesis ini selesai diuji. Puncaknya, Sabtu kemarin, sidangku berjalan lancar, meskipun aku gugup setengah mati memasuki ruang yang menegangkan itu. Meskipun sudah dipuji-puji, tetap saja aku gugup. Siapa pula yang tidak gugup diuji di depan 3 orang yang paling ahli di bidangnya, yang dulu namanya berderet-deret di daftar pustaka buku-buku teori fisika terapan dengan soal paling sulit dan teori mendalam yang memusingkan. Aku juga harus berbahasa Inggris. Berlipat-lipat sudah kecemasanku hari itu.

Setelah hampir dua jam menjelaskan dan diberi pertanyaan beragam macam, aku akhirnya direkomendasikan untuk lulus tahun ini. Tidak meleset dari perkiraan dosen pembimbingku. Mereka ―penguji yang terkenal ganas dan kritis―cukup puas dengan hasil risetku. Alhamdulillah, resmi sudah perjuanganku dua tahun belakangan. Untuk pertama kalinya, hari ini aku ingin mengelak dari buku-buku dan bacaan! Saatnya untuk merelaksasi mataku yang sudah dijejali ratusan jurnal dan buku. Hari ini, aku harus berkeliling Cambridge! Setidaknya mengunjungi pusat kota, lah. Aku sudah bosan dengan suasana kampus yang ramai tapi terlalu tenang: orang-orang yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aku butuh sedikit hiburan dari hal-hal baru! Dan, hal penting pertama yang harus aku dapatkan sekarang adalah teman berkeliling.

Aku merogoh ponsel dan mencari salah satu kontak yang belakangan sudah jarang aku hubungi. Nah, ini dia!

Tuttuttut

“Halo, asalamualaikum!”

“Waalaikumsalam, Andra! Temenin jalan, yuk, di sekitar Cambridge. Kangen makan Subway di pusat kota, nih. Sidangku baru selesai dan sekarang aku kosong. Kan, biasanya kau mau-mau aja kalau kuajak,” ujarku menggebu-gebu tanpa jeda. Padahal, orang di seberang sana terdengar baru bangun tidur.

“Mun! Gila kali, ya, kau! Aku di Indonesia, Mun. Aku barusan ketiduran. Seharian capek nemenin Isti belanja buat persiapan pernikahan. Kau lupa, ya, aku udah balik ke Medan sejak seminggu lalu!” Andra menjawab dengan nada berat dan sedikit ketus.

“Sejak seminggu lalu aku nelpon kau, tapi kaunya sibuk aja. Aku sampe nanyain kau sama anak-anak sejurusan. Katanya, kau lagi nyusun tesis. Ya udah jadinya ku-chat aja. Jangan bilang kau ga baca chat-ku sama sekali,” lanjut Andra terdengar kesal. Aku terkesiap. Media sosialku memang terbengkalai beberapa minggu belakangan. Sudah jadi kebiasaan setiap akan ujian dan punya kegiatan penting, aku akan “menghilang” dari dunia maya supaya bisa fokus. Bagiku, keputusan untuk melanjutkan studi ke luar negeri adalah impian, tidak boleh setengah hati.

“Lalu, kuliahmu?” tanyaku pelan. Nada pertanyaanku sudah tidak sesemangat tadi.

“Aku cuti, Mun. Lagian sudah ketemu dosen pembimbing, sudah naik judul, tinggal penelitian saja. Sembari menyelesaikan, akhirnya aku dapat keberanian menghubungi Isti. Kau tahu, ‘kan, Isti sahabat Nur yang paling pendiam. Lucunya, waktu aku cerita ke Bunda tentang ingin meminang gadis, ia juga berencana memperkenalkan aku dengan anak temannya. Dan, ternyata itu Isti! Ah, Mun, kau ke mana aja, sih! Sulit sekali berkomunikasi dengan calon profesor kek kau. Intinya, kau harus buka chat yang kukirim, ya. Di situ ada alasan kenapa aku pulang. Sebenarnya tidak mendadak, sih. kau saja yang baru tahu. Nanti, besok pagi, kukirimkan undangan dan juga alamat melalui surel. Aku mau tidur lagi, capek seharian. Kau jalan-jalanlah sendiri. ‘Kan sudah terbiasa juga dengan kesendirian. Ah, hampir lupa, selamat untuk sidangmu. Doakan aku setelah ini, ya, karena rencananya insyaallah aku akan memboyong Isti ke London. Sudah dulu, ya, Mun, sudah larut malam, Asalamualaikum,” Andra mematikan ponsel tepat setelah mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam”, jawaban salamku tidak didengar lagi. Sambungan telepon terputus dan aku terdiam beberapa saat. Apa yang terlewat? Padahal aku hanya menghilang selama beberapa hari. Ah, mungkin beberapa minggu saja. Aku melemparkan pandangan ke arah kalender yang tergantung di dekat jendela kamar. Sekarang memasuki musim gugur di bulan Oktober dan aku hanya tidak memainkan ponsel selama … hampir 2 bulan! Wah, pantas saja aku kehilangan banyak informasi. Seluruh komunikasi aku fokuskan melalui surel dan hanya sesekali mengecek aplikasi chat. Sementara, media sosial sengaja kunonaktifkan. Aplikasi chat kugunakan sekadarnya untuk membuat janji dan menghubungi orang-orang penting yang mendesak, sisa pesan lainnya tidak kubaca. Nanti saja ketika butuh, batinku. Sekarang sudah dua bulan berlalu dan aku baru menyadari bahwa aku tertinggal banyak peristiwa. Maka, hari itu, aku putuskan untuk batal berkeliling ke pusat kota dan memilih untuk mengecek dan membuka kembali seluruh media sosialku.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.