Setelah lama terpisah, dua sandal berbeda kelas yang dahulu pernah sama-sama menghuni salah satu mal di kota ini kembali bertemu di tempat sampah. Sebut saja keduanya dengan Meli dan Pakalola. Meli sandal jepit kelas jelata, sedangkan Pakalola sandal kulit yang konon kelahiran Eropa. Mereka bertemu secara tidak sengaja. Saat itu terdengar suara rintihan yang disadari oleh Meli.

“Hei. Kamu ada masalah apa? Mengapa menangis?”

“Terbuang sudah aku, sudah usang kini. Aku tidak berguna lagi. Aku tidak punya teman juga. Huhuhuhu.”

“Pakalola? Kau Pakalola, kan? Oh, Tuhan. Lama tidak bertemu, kita malah di sini sekarang. Sudahlah, jangan menangis.”

Pakalola mulai tenang. Ia mengenali sosok sandal merah itu sebagai Meli, yang dulu pernah ia sakiti hatinya.

Saat itu, Pakalola dan Meli bertemu di Musala Mal Anggrek. Kala itu Meli tergeletak tak terurus dan ditertawakan oleh sandal yang disimpan rapi di rak-rak.

“Hahaha, kasihan sekali kau terinjak-injak kaki basah manusia. Kotor, bau, tak terurus. Pantas sandal murahan. Tidak seperti aku yang terjaga, terawat, dan bersih. Eh, mahal juga,” kata Pakalola dengan nada sombong saat itu.

Minggu demi minggu Meli harus bersabar mendengarkan ocehan Pakalola yang tinggi hati. Maklum, Pakalola dikenakan oleh orang penting di balik Mal Anggrek sehingga mereka sering bertemu. Meli hanya membalas dengan dengusan dan sesekali membalas ucapan, hingga suatu waktu Meli tidak lagi melihat Pakalola. “Oh, mungkin pemilik sandal sudah dipindahtugaskan,” pikir Meli. “Syukurlah.”

***

“Waktu mempertemukan kita kembali, ya,” ujar Meli.

“Mungkin ini saatnya aku harus minta maaf kepadamu, Mel.”

“Sudahlah. Aku pun sudah memaafkanmu sejak lama. Tak ada gunanya juga berdendam. Lagi pula, kau bisa petik pelajaran dari kejadian pertemuan kita, La. Sadar kau?”

“Aku bersalah karena mengejak kamu sandal butut. Aku sombong.”

“Nah, kau sudah tahu salahmu. Lagian, kau tahu alasan mengapa saat kau dulu ejek-ejek aku, aku hanya diam dan tidak acuh?”

Pakalola menggeleng. Meli menjelaskan pada Pakalola, dirinya sudah banyak belajar dari orang-orang sebelum Pakalola. Bukan hanya Pakalola saja yang mengejek, melainkan sandal-sandal lain pun melakukannya. Awalnya, Meli marah dengan kondisinya. Namun, tiba-tiba ada dua orang yang berbincang sambil merapihkan sandal-sandal musala, termasuk Meli. Intinya, mereka membahas kesetaraan manusia, baik pemimpin, petani, profesor, guru, nelayan, maupun apa pun jabatan yang dimilikinya. Tidak ada yang membedakan mereka di mata Tuhan karena manusia memiliki tujuan yang sama untuk beribadah kepada Tuhan. Hal ini sama dengan sandal-sandal ini. Baik merek borju maupun yang diberi gratisan, tujuannya sama juga, yaitu untuk alas kaki manusia supaya tetap bersih dan terlindungi. Jadi, buat apa menghabiskan tenaga untuk marah-marah?

Pakalola menangis lagi mendengar penjelasan Meli. Pakalola bercerita bahwa dirinya dibuang karena pemiliknya sudah membeli sandal yang lebih mahal. Padahal, ia belum rusak dan masih layak untuk dipakai.

“Malah lebih mulia kamu, Mel. Kamu digunakan orang-orang yang ingin beribadah. Ternyata, nilaimu jauh lebih mahal,” kata Pakalola pada Meli.

“Hahaha, apa-apaan kau ini. Sudah, sudah. Kita pun sekarang sudah bernasib sama. Terbuang,” ujar Meli diikuti oleh Pakalola yang menangis bercampur tawa.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.