Sepasang yang Melawan
Saya belum pernah mendaki gunung. Meskipun saya lahir di Kota Gunungsitoli, Nias, faktanya tidak ada gunung yang bisa didaki di kota itu, melainkan pantai yang terhampar luas mengelilingi pulau. Melanjutkan pendidikan ke salah satu SMA di Tapanuli Tengah, sekolah saya terkenal dengan gunung belakang yang asri. Sayangnya, bertahun-tahun menghabiskan masa putih abu-abu di sekolah pun, saya belum pernah benar-benar naik gunung belakang sekolah yang tersohor itu. Lebih tepatnya, tidak pernah ada yang mengajak saya.
Ketertarikan saya terhadap gunung sebenarnya dimulai dari kejenuhan saya pada pantai. Lahir sebagai anak pulau membuat liburan masa kecil saya selalu identik dengan pantai. Mulai dari pantai pasir putih, pasir merah, pantai tanpa ombak bak laut mati, pantai dengan ombak tinggi yang terkenal untuk berselancar, hingga pantai yang letaknya di teluk, semuanya sudah saya jalani. Maka, saya bertekad, bagian alam yang ingin saya jelajahi selanjutnya adalah gunung. Saya ingin mendaki!
Bulan Maret 2020 lalu, akhirnya ada yang mengajak saya naik gunung. Kata teman saya, untuk pemula, sebaiknya mendaki Gunung Sibayak. Sayangnya, dua minggu menjelang rencana, dikabarkan ada virus mematikan yang menyerang Indonesia. Keadaan tiba-tiba berubah. Kampus ditutup dan seluruh aktivitas harus dilakukan dari rumah. Rencana naik gunung tentu batal, izin dari orang tua saya dicabut, dan teman saya tidak lagi memaksa. Keinginan saya untuk mendaki harus tertunda lagi. Demi menghibur saya yang sudah kepingin sekali naik gunung tapi tertunda, teman saya yang iba meminjamkan buku berjudul Sepasang yang Melawan karya Jazuli Imam.
El, tokoh utama dalam novel itu, merupakan anggota mahasiswa pecinta alam (mapala) yang cinta sejadi-jadinya kepada gunung, lingkungan, sosial, dan keadilan. Jiwanya bebas dan gayanya juga khas anak mapala: cuek dan terkesan urakan. El kemudian dipertemukan dengan Sekar, mahasiswi kebanggaan kampus dengan prestasi segudang. Pertemuan mereka yang berawal dari sama-sama terlambat masuk kelas membuat mereka harus bermasalah dengan salah satu dosen killer di kampus. Kisah mereka berlanjut dengan rumor buruk yang menyeruak dan mengganggu kehidupan pribadi masing-masing. Puncaknya, Sekar dihasut untuk berbohong dan menyalahkan El atas kejadian yang terjadi. Setelahnya, El diskors selama beberapa minggu.
El, yang dari awal memang tidak peduli, memilih untuk mengasingkan diri dengan mendaki Gunung Rinjani. Sementara Sekar tenggelam dalam rasa bersalah karena sudah mendengar hasutan yang membuat El akhirnya hilang dari kampus dan pergaulan. Setelah kejadian itu, Sekar mencari tahu keberadaan El dari teman-teman satu komunitas hingga mengunjungi indekosnya. Sekar kemudian jatuh hati pada tulisan El yang diunggahnya di blog pribadi Pejalan Anarki. Tanpa sadar, rasa penasaran dan hasrat untuk bertemu El membuatnya berani menaiki Gunung Rinjani seorang diri tanpa persiapan sebagaimana pendaki pada umumnya.
Cerita dua sejoli itu membuat saya bisa membayangkan keseruan naik gunung, kepuasan berada di puncak, dan juga kemampuan menghargai kesempatan. Meskipun awalnya terkesan “bunuh diri” karena nekat naik gunung tanpa persiapan, tetapi bersama El, Sekar akhirnya belajar untuk menghargai dan menghayati perjalanan. Saya, sebagai pembaca, turut merasakan petualangan mereka berdua dalam menikmati kopi, gunung, dan puisi.
Kekurangan buku ini adalah ejaan yang terkesan tidak dipedulikan oleh penulis. Selebihnya, saya menikmati alur dan puisi-puisi pembuka setiap bab. Pada akhirnya, meskipun El dan Sekar tak jadi satu, hasrat saya untuk naik gunung dalam imajinasi sudah terpuaskan dengan menyenangkan.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.