Aku tuts. Orang menyebutku tuts ponsel. Lebih spesifik lagi: tuts ponsel pintar Blackberry.

Setiap hari, aku didera tekanan ribuan kali. Pelakunya, seringkali ibu jari. Ya, jari tergemuk manusia itu menubrukku bertubi-tubi.

Sehari saja si jempol tak menindasku, malapetaka bakal menghampiri si pemilik empu jari.

Kuberi permisalan.

Pada zaman kiwari, komunikasi itu harga mati. Tak ada alasan bagi siapa pun boleh menundanya.

Komunikasi, kini, tak mesti dijalin secara wawanmuka. Sebab kecanggihan teknologi memungkinkan orang senantiasa berkomunikasi. Sekali saja orang lengah dan tak berkomunikasi, dia mesti bersiap menghadapi masalah.

Coba saja lihat pasangan baru di perempatan jalan itu. Mereka bertemu hanya untuk bertengkar hebat.

Padahal subuh tadi, si perempuan masih membangunkan si lelaki lewat pesan singkat. Namun, sore itu, keramahannya bersalin jadi kemarahan.

Pemicunya cuma karena si lelaki tidak mengabari si perempuan perihal agenda makan siangnya. Itu jadi soal karena sebelumnya, si perempuan beroleh kabar dari rekannya ihwal si lelaki yang makan siang bersama perempuan lain.

Bisa dibayangkan, ‘kan? Malapetaka bisa datang kepada mereka yang tak menekan tuts ponselnya barang sehari.

Aku tahu karena aku tuts. Akulah yang pertama kali mengetahui apa yang dipesankan orang kepada rekannya yang jauh di sana. Aku yang senantiasa ditekan untuk setiap kata yang terlempar dalam bentuk pesan singkat.

Kini, penampilanku tak lagi berbentuk fisik yang teksturnya dapat langsung terasa indera. Aku sudah menyatu dalam layar. Orang menyebutku tuts layar sentuh.

Kendati begitu, aku tetap saja ditekan. Kali ini, tidak hanya oleh ibu jari. Telunjuk pun dapat turut menimpaku.

Namun, jujur, tekanan itu tak lantas membuatku lemah. Deraan jari itu tak membuatku jera. Malah, aku menjadi berguna.

Lihat saja aksara yang kucipta dari tekanan si ibu jari. Aku mencipta kata, kalimat, alinea hingga wacana.

Memang kebanyakan tekanan yang kualami tak begitu keras. Namun, ada juga masa saat aku mendapat tumbukan yang hebat.

Kala itu, si empunya ibu jari sedang geram. Sang kekasih mencampakkannya dan menyemburkan kata-kata kasar. Dia melakukannya lewat sambungan telepon yang kemudian dimatikannya begitu saja.

Sontak, si pemilik ibu jari itu murka. Saat sambungan telepon yang dilayangkannya tak beroleh respons, seketika dia menekan tuts demi tuts dalam ponselnya. Keras sekali ia menekanku sembari menyusun umpatan untuk sang kekasih.

Sakit? Tidak bagiku. Namun, mungkin sakit bagi si manusia pemilik ibu jari. Itu terjadi karena akulah tuts. Tekanan yang menderaku justru mencipta kebergunaan.

Tak percaya? Lihat saja bagaimana anak usia balita menekanku. Ia tekan satu demi satu tuts ponsel yang tentu saja tak ada kata atau kalimat bermakna di sana. Yang tampak pada layar ponsel hanya aaaab aaaac aaaad. Tak jelas.

Namun, bukankah kata tak harus dibebani makna?

Mungkin itu yang disebut puisi mantra. Kata berhasil lepas dari makna.

Toh makna dan kata dicipta manusia. Kalau tak sepakat, makna bisa dilepaskan dari kata. Dengan begitu, kata menjadi ujaran tanpa makna.

Sekali lagi kuingatkan: gagasan sehebat apa pun tak akan pernah tertera dalam ponsel pintar tanpa menekanku.

Aku mencipta aksara tik. Aku tak gentar dalam entakan ibu jari. Tekanan yang menderaku bukan malah mencipta derita. Ia justru mencipta aksara bagi manusia. Sekaligus, mungkin, juga mencipta enigma.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.