Lana berdiri di balkon rumahnya sambil memandangi rumpunan ilalang yang terhampar sampai ke batas pantai di depan rumahnya. Ia tak peduli embusan angin membuat rambutnya terlihat tak beraturan dan dingin menyapu kulitnya. Lana terbiasa termenung di balkon. Aku mencoba memanggilnya.

“Lana! Lana! Hei!”

“Eh, halo, Fatira. Sedang apa kau di situ?”

“Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau pandangi di situ?”

Jawaban yang diberikan Lana masih saja tidak memuaskan. Aku memang sudah lama berkawan dengan Lana. Ia yang menerimaku pertama kali di kampung ini. Hingga saat ini kami sudah bertetangga hampir sembilan tahun.

Lana perempuan yang cantik. Ia juga pandai mengaji. Tiap sore kami selalu mampir ke surau tempat Pak Hasan mengajar mengaji. Inisiatif Lana yang mengajakku untuk membantu Pak Hasan di surau. Balas budi dan tambah pahala katanya. Mengagumkan memang sosok Lana. Ia kadang tiba-tiba membawa buku yang tebal dan menyuruhku untuk membaca. Biar pintar seperti sarjana ungkapnya.

“Assalamualaikum,” ucap Lana pada adik-adik di surau.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Adik-adik bersamaan menjawab salam.

“Kak Lana, Kak Fatira, kami sudah lama menanti Kakak,” ucap salah satu anak.

“Pak Hasan ke mana?” tanyaku.

“Tadi Pak Hasan titip pesan, Kak. Minta tolong Kak Lana dan Kak Fatira untuk mengajar selama seminggu. Pak Hasan akan ke kota ada urusan katanya.”

Lana langsung mengambil sikap dengan menenangkan anak-anak di surau. Aku pun mengikuti sikapnya. Azan magrib berkumandang, tandanya sudah selesai jam mengaji. Beberapa anak ada yang pulang, ada juga yang memilih untuk tinggal di surau mendengarkan kajian usai salat magrib.

***

Lana selalu minta ditemani untuk mampir dulu ke rumah Bu Ersa, guru sekolah SD. Menanyakan kabar, katanya. Maklum saja Bu Ersa dulu yang membantu Lana berobat seusai tragedi tsunami itu. Lana merasa perlu untuk membalas jasanya. Bisa gila katanya kalau tidak segera berobat saat itu.

Sore hari seperti biasa kupandangi Lana sedang di balkon. Aku pun memutuskan untuk menemaninya di sana.

“Lana, boleh aku temani kau di sini?”

“Duduk saja. Oh, iya, Fatira kapan terakhir kali kau merasakan rindu?”

“Em, mengapa tiba-tiba kau bicara soal rindu?”

“Ah, kau tak bisa jawab pertanyaanku.”

“Lana, apa yang kau lakukan tiap sore di sini? Apa ini tempat favorit untuk merindu?”

Lana mengembuskan napas kemudian ia menyuruhku berdiri menghadap ilalang.

“Bisa kau rasakan angin membelai tubuhmu perlahan? Deru ombak mengajakmu bercengkerama dalam diam dan juga bayangannya yang perlahan hadir menyapa ingatanmu.”

“Aku merasakan sejuk dan tenang, Lan.”

“Itu saja? Ah, kau berarti belum merindukan seseorang.”

“Rindu siapa, Lana? Maksudku, aku akan merindu siapa pun tak tahu! Kau tahu aku selalu bersama kau di sini. Apa jangan-jangan teman sekolah kau, ya?”

“Bukan, Lana. Dia jauh.”

Lana kemudian duduk dan mulai bercerita tentang sosoknya yang jauh. Rumpunan ilalang ternyata tempat Lana berjumpa dengannya, seorang relawan kemanusiaan yang dulu menolongnya saat tsunami Aceh. Sebenarnya, ia pun bingung dengan apa yang dirasakan, entah hanya buah harapan dari angan atau benar itu bentuk kerinduan.

Kulihat Lana menitikkan air mata. Aku tak berani menyanggah ceritanya. Lana terus bercerita bahwa sosoknya saat itu membantu Bu Ersa juga. Ilalang yang dipandangi Lana ternyata mengingatkan pada seseorang yang kini jauh. Saat kondisi sudah pulih, ada pesan yang dibisikan pada Lana. Sebuah pesan yang Lana tidak mengerti apa maksudnya.

“Bunga yang jatuh diinginkan oleh tanah. Sampai jumpa.” Pesan yang diberikan untuk Lana terakhir kalinya saat sebelum berpisah. Lana menyudahi ceritanya dan bertanya padaku.

“Kau mengerti maksudnya? Aku akhirnya menceritakan hal ini. Tak berani aku ceritakan ini semua pada siapa pun. Hanya kau, Fatira.”

“Sudah coba kau hubungi nomor teleponnya?”

“Hahaha. Mana punya? Tak ada waktu. Aku juga tak berani tanyakan pada Bu Ersa.”

“Ya sudah, kalau begitu, mau sampai kapan kau seperti ini? Kau tahu hubunganmu dengan sosoknya seperti tali yang menggantung.”

Lana hanya berdengus dan tiba-tiba ada suara yang memanggil.

“Assalamualaikum.”

Suara Pak Hasan ternyata. Pak Hasan mengunjungi rumah Lana. Aku segera pamit untuk pulang. Keinginanku dicegah oleh Lana. Ia memintaku untuk menemani menemui Pak Hasan.

“Waalaikumussalam, Pak Hasan. Iya, ada apa, ya, Pak?”

“Begini, Nak Lana. Kebetulan ada Fatira juga. Bapak mau ucapkan terima kasih sudah menggantikan selama seminggu. Mohon maaf juga tidak bilang terlebih dahulu dengan kalian. Ini ada sedikit oleh-oleh dari Bapak. Nah, ini titipan untuk Nak Lana. Besok sore Bapak tunggu, ya, di surau.”

Lana menerima selembar surat dari Pak Hasan. Aku tidak berani bertanya pada Lana. Setelah menerima oleh-oleh, aku putuskan untuk pulang saja ke rumah.

***

Sore harinya Lana sudah berada di teras rumahku. Aku segera memakai kaus kaki dan pamit kepada orang tua. Selama di perjalanan, aku melihat Lana terlihat begitu bersemangat. Dandanannya pun lebih anggun dari biasanya, ia mengenakan setelan warna merah muda. Lagaknya seperti orang yang sedang ingin berjumpa dengan kekasih. Pikiranku tiba-tiba tertuju pada sosok yang diceritakannya. Apa benar, ya? Apa jangan-jangan surat kemarin dari dia? Surau tempat kami mengaji terlihat lebih ramai. Tertulis rombongan kemanusiaan persis yang disampaikan Lana padaku,

“Assalamualaikum,” ucap kami.

Diiringi jawaban salam serentak dari anak-anak. Aku memperhatikan sekitar dan ternyata benar pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku terjawab. Akhirnya, Lana berjumpa dengan yang dirindukannya, Dewa.

———-
Ditulis oleh Listi Hanifah dalam perasaan baik-baik saja.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.