Butiran air yang menetes ke tiap cangkir berisi kopi itu begitu jelas kudengar. Kau melakukannya sambil memintaku terus bermain-main di sekitar meja, tidak jauh dari kakimu berpijak. Dari pintamu yang ganjil itu, aku meyakini, kau pasti sedang ingin mengelabui para ibu. Kau mau mengalihkan perhatian mereka. Dengan begitu, para ibu yang hilir mudik menyiapkan penganan lebih memilih untuk menyapaku, alih-alih mengawasimu. Dan memang benar, mereka yang lalu-lalang di selasar rumah Pak RT lebih tertarik kepadaku. Mereka lebih senang menyapaku, baik dengan cara membungkuk maupun bercangkung, bertelekan lutut.

Aku rasa, muslihatmu berhasil.

Saat kau mulai mengangsurkan cangkir ke hadapan para bapak, seperti biasa, mereka asyik menggodaimu dan mengomentari tubuhmu. Bahkan, kudengar ada seorang bapak yang mengajakmu kawin, padahal dia sudah beristri. Atas godaan semacam itu, tentu kau sudah pintar mengatasinya. Kau sudah piawai mengatur emosi demi kelancaran aksimu hari ini. Dan, tentu saja, tak seorang pun tahu kalau di balik cairan kopi yang beraroma nikmat itu telah tercampur setitik zat jahanam.

“Tenang, Nak! Semuanya akan tuntas malam ini,” katamu dengan suara lirih.

Bersamaan dengan suara azan, momen buka puasa itu mendadak ricuh. Bunyi pecahan cangkir bersahutan. Riuh tangis dan bunyi erangan menguar. Kurasakan begitu kencang kau berpegangan pada lenganku seraya kudengar isak tangismu yang tertahan. Merasakan aura ketakutan pada dirimu, aku merasa puas. Aku mengulum senyum sambil membayangkan lagi masa laluku sebelum kau mengirimku ke panti asuhan.

Kau tentu masih ingat. Orang tuaku mati karena kau. Ibuku bunuh diri usai mendapatimu tidur dengan ayahku. Ayahku pun kemudian mati karena tipu muslihatmu. Kedua mataku pun buta karena hantamanmu yang keras di kepala. Namun sayangnya, polisi tak mengetahui kebenaran atas peristiwa itu. Kau tetap bebas dari segala hukuman meski hidupmu yang penuh gemerlap perlahan meredup. Dan sejak penglihatanku hilang, asal kau tahu, ‘ku ingin kau mati.

Beruntung, mata batinku mampu merasakan dendam di dadamu. Ya, aku tahu kau merawat kesumat kepada para bapak yang terus melecehkan dan menggodaimu setelah kematian Ayah. Jujur saja, aku pun benci mendengar siulan dan ungkapan kotor mereka terhadap perempuan.

Makanya, saat masih tinggal di rumah, kukeraskan volume teve yang kebetulan menayangkan berita pembunuhan dengan memanfaatkan cairan beracun. Tak lupa, kulemparkan makian kepada mereka yang melecehkanmu. Sesekali, kutumpahkan tangisanku agar kau merasa ada teman sependeritaan. Kadang kala, kubisikkan keinginanku untuk membunuh mereka.

Kukira, aku gagal menginspirasimu. Sebab, kau malah mengirimku ke panti asuhan. Namun, rupanya, selama satu tahun itu, kau sedang merancang skenario. Kau pun mengajakku menyaksikan skenariomu itu. Dan, ternyata, kita berhasil!

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.