Di ruang kelas X yang ramai, seorang murid perempuan bernama Ami duduk menyendiri di bangku paling pojok. Kala itu suasana kelas sungguh ramai. Semua murid, kecuali Ami, senang ketika guru Bahasa Indonesia memberikan tugas membuat novel kepada muridnya. Ami merasa terbebani dengan adanya tugas itu karena ia tidak pandai dalam berbahasa Indonesia, bahkan dia tidak suka pelajaran Bahasa Indonesia.

Setiba di rumah, Ami uring-uringan. Lalu, ibunya bertanya, “Kamu ada masalah apa di sekolah?” Ami tidak menjawab. Kemudian, sang ibu bertanya kedua kalinya, “Kenapa kamu uring-uringan? Ada masalah apa di sekolah atau di jalan?” Ami pun menjawab pertanyaan ibunya bahwa dia mendapatkan tugas membuat novel, sedangkan dia tidak suka bahasa Indonesia karena menurutnya bahasa Indonesia punya banyak aturan. Ami yang kala itu kalut dengan kondisinya tiba-tiba meminta bantuan adik laki-lakinya yang duduk di kelas lima SD. Ami sangat senang dan lega karena mendapat bantuan dari sang adik.

Beberapa pekan berlalu, tiba waktunya pengumpulan dan penilaian novel. Ketika guru mengumumkan nilai, Ami sangat terkejut. Nilai hasil tugasnya mendapatkan nilai A dan masuk dalam lima besar. Lima besar novel itu akan dimasukkan ke majalah sekolah. Meski begitu, ketidaksukaan Ami terhadap bahasa Indonesia tidak berubah.

Tahun demi tahun Ami lewati dengan terbebas dari tugas Bahasa Indonesia. Ketika bekerja, dia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan aturan baku bahasa Indonesia sebab atasan di tempat ia bekerja adalah seorang wikipediawan bahasa Indonesia. Tanda baca selalu menjadi perhatiannya. Ami terkejut, deg-degan, takut. Ia merasa bahwa ini adalah sebuah karma yang harus diterima karena pada masa sekolah dari SD—kuliah, nilai Bahasa Indonesia-nya selalu paling rendah dibanding mata pelajaran lainnya. Mau tidak mau Ami harus menerima kenyataan bahwa dia harus menyukai bahasa Indonesia.