Ada Kita, Tiada Kamu
07.00 WIB, Yogya begitu ramai. Sebelum musim pagebluk, keramaian Yogya merupakan hal yang wajar. Namun, kini riuh rendah suara orang begitu anomali. Bagaimana bisa? Padahal, anjuran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berstatus fix-pakai-banget-setelah-revisi-dua-kali diserukan ke seluruh penjuru kota.
10.00 WIB, Yogya makin ramai. Ada kita di sepanjang jalan yang kulewati saat hendak mencari sarapan. Dari Jalan Prawirotaman sampai dengan Jalan Rotowijayan—tempat kita menemukan sebuah angkringan lengkap dengan seorang bapak tua berkaus putih usang yang begitu ramah. Ada kita sedang menyeruput teh hangat bertemankan gorengan tempe yang kamu lahap begitu lekas. Usai membayar sejumlah uang kepada si bapak tua, kita tetap masih ada dalam tapak jalan menuju parkiran.
Kita masih ada di mana-mana. Kita ada dalam setir mobil yang kumainkan sampai Malioboro. Kita juga ada dalam rayuan penjual gelang. Rayuan itu bekerja sebab pada akhirnya kita membeli dua gelang bermotif sama. Gelang milikku kusimpan dalam laci yang sudah hilang kuncinya. Kita pun ada dalam perdebatan tentang pilihan rasa Bakpia Kukus Tugu kesukaanku—dan kamu. Usai membeli beberapa kotak, kita masih ada. Kita bertengkar perkara aku yang salah melihat peta sehingga kita tersasar sampai azan zuhur menjelang.
16.00 WIB, Yogya tak kunjung sepi. Namun, entah kenapa kita makin jatuh hati—rasanya persis seperti aku yang melihat rupamu seusai kamu berwudu di masjid wilayah Sosrokusuman. Lagi-lagi, aku menemukan kita sedang bercakap perihal papan nama jalan yang mungkin menjadi salah satu alasan kenapa kita begitu terpikat dengan Yogya. Bisa jadi karena kita jarang menemui papan serupa di ibu kota—papan yang berunsurkan nama jalan dengan aksara daerahnya. Samar-samar kudengar janjimu bahwa kita akan kembali ke kota ini kapan pun kita kehendaki.
20.00 WIB, Yogya belum lengang. Aku kian sesak dan kita belum beranjak. Kulihat kamu terbahak-bahak. Aku jelas kalah telak. Kita lantas berlesehan di sebuah tikar tipis milik pedagang. Aku ingin memesan kopi susu, tetapi urung sebab kamu melarang. Akhirnya, atas perintahmu, kita memesan wedang jahe yang kuanggap sebagai tanda sayang.
Malam belum larut dan kita masih ada di mana-mana. Aku kembali menemukan kita dalam nyala lampu merah. Kamu begitu mengagumi cara warga lokal berkemudi: taat aturan tanpa paksaan. Kita menyaksikan tiada satu pun kendaraan berpelat AB yang melewati marka jalan, meski hanya seinci. Kala lampu sudah berganti menjadi hijau, tiada pula kita dengar bunyi klakson karena ingin segera melaju.
22.00 WIB, Yogya (sepertinya) tidak akan pernah sepi. Aku mengutuk kita yang tak kunjung lelah ada di setiap sudut kota. Kita kembali terlibat dalam adegan pertengkaran lantaran kamu diam-diam merokok karena diajak oleh seorang oknum. Aku jelas punya alasan untuk yang satu itu. Kamu tahu persis bahwa kamu tidak pandai merokok. Kamu pun tahu bahwa paru-parumu sedang minta diperhatikan. Aku lantas diam dan dengan nekatnya kamu berteriak di sepanjang jalan, “Kau diam dan aku tidak punya indra keenam.” Aku ingat, kalimat itu kamu kutip dari Yajugaya.
00.00 WIB, Yogya betul-betul menjadi saksi bahwa ada kita di sepanjang jalan yang kuselisir seharian, tetapi tiada kamu. Ada janji milikmu di setiap sudut yang kusinggahi, tetapi tiada kamu. Ada sedih milikku pada tiap kenangan yang kita punya, tetapi tiada kamu. Kamu di mana?
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.