Ayah, Aku Tak Kuasa Memberi Judul!
Semalam suntuk, aku mengutuk. Seakan tak mengenal rasa kantuk, pikiranku kian sibuk. Puluhan skenario berhasil kubentuk sembari memikirkan harap-harap yang muluk. Jarum jam bergerak maju, sementara daya batinku kian mengamuk. Ayah, mengapa anakmu ini begitu teguk? Tidak bisakah anakmu ini lekas tidur agar nanti pagi tak tertinggal menyarap nasi uduk?
Ayah, perbuatlah sesuatu seperti malam-malam yang lampau. Ayah hanya perlu mendekat dan membujukku dengan rayu. Suasana sendu yang telah rapi kubangun seketika akan runtuh tanpa ragu. Ayah mampu menyeka tangisku tanpa ampun sampai yang tersisa hanya doa yang syahdu. Ayah juga tak luput mengingatkan bahwa pasti ada peluh dalam setiap proses tumbuh. Ajaibnya aku langsung mengiyakan dengan sungguh. Ayah, aku rindu. Untuk menghasilkan tutur seperti milikmu, tak seorang pun mampu.
Saat menemui jalan yang membingungkan, kala peta yang kupegang tak menunjukkan arah, aku hanya ingin Ayah. Ayah tak pernah kehabisan sabda untuk membuat kakiku terus melangkah. Jika pada akhirnya jalan yang kutelusur ternyata buntu, Ayah hanya memintaku untuk berserah. Katamu, sesekali boleh merebah. Marah bukanlah teori Ayah, apalagi menyerah. Duniaku memang bukan hanya Ayah, tetapi saat aku bertentangan dengan dunia, aku hanya butuh Ayah.
Tubuhku kian gemetar. Rindu pada Ayah makin berpijar. Jika aku berdoa Ayah ada di sini sekarang, aku tak cukup yakin Tuhan akan mendengar. Ayah pernah berkata bahwa kelak akan ada orang yang datang kepadaku membawa sebuah ikrar. Ia tak akan seratus persen seperti Ayah dan Ayah pun sadar. Kemudian, Ayah mengotot bahwa aku harus rela sebab Ayah takkan selamanya menjadi lelakiku yang kekar. Ayah akan berpulang dan meninggalkanku dengan gusar. Namun, Ayah mengabaikan satu hal, yakni kemungkinan aku yang lebih dulu berpulang dan meninggalkan Ayah yang kuyakin pasti tegar.
Membayangkan hidup tanpa Ayah saja aku sudah pengar bukan kepalang. Ayah, dalam kalutku yang makin bergelayut ini, ingin sekali aku pulang ke dadamu yang lapang. Aku enggan bertemu orang-orang. Ayah perlu tahu, bahwa mereka dalam satu waktu bisa baik, dalam waktu yang lain bisa menyerang. Namun, Ayah, jarum jam menunjukkan bahwa pagi sudah makin menjelang. Agendaku yang tertulis di Google Kalender tidak bisa menghilang. Aku harus mengakhiri percakapan semu dengan Ayah yang entah kapan bisa kuulang. Selamat pagi, Ayahku sayang. Terima kasih sudah menemani malamku yang bimbang.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 2
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.