Dulu sekali, aku gemar merancang skenario untuk cerita yang kumainkan sendiri. Aku menjadi penulis sekaligus aktor. Biasanya, aku merancang skenario pada suntuk malam kala kepalaku begitu riuh. Tanganku dengan sendirinya mampu menangkap sinyal kebisingan yang terjadi di kepala. Ia akan segera menulis kata demi kata hingga membentuk kalimat-kalimat yang kemudian dipadukan menjadi sebuah skenario.

Pernah pada suatu hari, aku nyaris mengorbankan waktu istirahat untuk menyelesaikan skenarioku. Imajinasiku tak terempang kala memikirkan detail dari tiap adegan yang akan kumainkan. Tak jarang, aku menemukan diriku tertawa sendiri oleh sebab reka adegan yang kubayangkan. Bagiku, hasil pada hari itu adalah skenario terbaik yang oleh kebanyakan orang disebut mimpi.

Beberapa waktu setelah skenario terbaik itu rampung, aku terkejut oleh sebab keputusan Sang Sutradara. Ia sekonyong-konyong mengubahnya tanpa berkompromi denganku. Dibuat-Nya aku berakting menangis untuk cerita yang bertema tragis. Aku hampir bertingkah gegabah menghentikan pertunjukan. Untungnya ada pemeran lain yang turut menguatkan sampai lampu panggung mati dan Sang Sutradara menyudahi pertunjukan.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi mau menulis skenario. Berbulan-bulan lamanya, aku marah kepada Sang Sutradara. Bagaimana tidak? Ia nyaris membuatku berpikir bahwa aku bukanlah aktor yang ulung. Pikirku, penonton akan mengecap aku sebagai aktor gagal. Aku tak pandai beradaptasi dengan beragam adegan yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

Aku benar-benar hilang asa dalam bermain peran hingga seorang teman mengingatkanku pada kealpaanku. Katanya, aku kerap absen saat sesi latihan berlangsung. Padahal, sesi latihan itu merupakan momen para pemain berdialog dengan Sang Sutradara. Aku terlalu sibuk menulis ceritaku sampai aku enggan menghadiri sesi pemberian arahan dari Sang Sutradara.

Seketika aku merasa bersalah sudah berprasangka buruk begitu lamanya kepada Sang Sutradara. Aku mengutuk diriku berkali-kali. Meski aku sudah berpikir dan bertindak begitu buruk, Sang Sutradara tidak balik memarahiku. Beberapa waktu setelahnya, Ia justru menghadiahiku peran maharomantis yang tidak terduga. Ia (mungkin) akan mengirim seorang pemeran lain yang melengkapi peranku. Aku sungguh tidak sabar menanti lampu panggung menyala kembali.

 

 

 

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.