Bagi saya, dongeng selalu identik dengan Ayah. Sejak saya kecil, Ayah selalu suka mendongeng, berkisah tentang apa saja. Sebenarnya, Ayah bukan tipe orang yang banyak berbicara. Ia lebih senang bicara seadanya. Namun, jika suasana hatinya sedang baik, biasanya ia bisa menjelma menjadi sosok yang tidak kalah cerewet daripada Ibu.

Saya ingat sekali, dulu setiap sebelum tidur, jika Ayah sedang di rumah dan tidak lembur, saya akan selalu minta didongengkan oleh Ayah. Dongeng tentang apa saja. Terkadang Ayah berkisah tentang kancil dan buaya, monyet dan singa, ataupun harimau dan gajah. Jika Ayah sedang bercerita tentang fabel, ia akan lebih banyak mengajak saya berbicara dengan bertanya satu-dua hal dan memberitahu hal-hal yang lain. Namun, yang selalu menjadi favorit saya adalah jika Ayah bercerita tentang kehidupannya; tentang masa kecilnya; tentang Ban Pau, Nek Mai, Pak Nga Wi, dan Su Tam; tentang masa-masa remajanya; tentang hobinya naik turun gunung dan berpetualang; hingga hal-hal sepele—yang asalkan Ayah yang menuturkannya pasti kisah itu menjadi seru, menggelitik, dan menyenangkan untuk didengar.

Dulu, biasanya, Ayah akan berbaring di samping saya seraya mengelus rambut saya. Sebelah tangannya akan bergerak menggambarkan apa pun yang sedang ia ceritakan. Jika sudah begitu, saya akan menyimak dan memperhatikan dengan saksama.

Ayah tidak pernah menutup ceritanya dengan nasihat-nasihat seperti di buku-buku dongeng masa kecil. Tidak. Seingat saya, ia tidak pernah melakukannya. Sesi nasihat lain lagi, kecuali jika seharian tadi saya dan adik-adik terlampau nakal hingga ia merasa perlu menasihati kami melalui dongeng sebelum tidur. Meski begitu, nasihatnya tidak dideskripsikan dengan tersurat dalam cerita. Ia memiliki caranya tersendiri untuk menegur kami melalui dongengnya.

Jika Ayah tidak terlalu lelah dan saya tidak kunjung menutup mata, Ayah akan bercerita lebih banyak. Lalu, ia akan mengakhiri ceritanya dengan mengelus rambut dan menciumi kening saya. Tak jarang juga saya memergokinya berbaring cukup lama di samping saya, entah memikirkan apa.

Kebiasaan mendengarkan Ayah mendongeng itu berlangsung hingga sekarang. Hanya saja, tentu saya tidak lagi didongengkan sebelum tidur secara langsung oleh Ayah. Sekarang saya lebih sering ikut  menjadi pendengar saat ia mendongeng untuk adik-adik saya.

Sesi berdongeng dengan Ayah juga hadir dalam perjalanan panjang di dalam mobil. Kami sekeluarga selalu pulang ke kampung beberapa kali dalam setahun dan perjalanan itu selalu dilakukan dengan mobil pribadi. Ayah yang menyetir, Ibu duduk di samping, serta saya dan adik-adik duduk di belakang. Jika Ibu mengantuk, biasanya tugas saya dan Ramzi—adik saya—yang menemani Ayah mengobrol. Kami akan dengan senang hati memancing Ayah untuk “mendongeng” tentang apa saja. Jika sudah terpancing, kami akan berebut untuk duduk di kursi tengah agar bisa mendengarkan Ayah dengan lebih saksama. Sesi mendongeng Ayah bersama saya dan Ramzi saat ini memang jauh lebih “berat” dan “dalam”, tetapi Ayah pandai menyelipkan tawa di tengah-tengahnya. Ia seolah menyiratkan bahwa seberat apa pun langkah kami hari demi hari, kebahagiaan selalu bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk dengan hal yang paling sederhana sekali pun. Ayah bilang, “Kita hanya perlu membuka mata dan hati lebih lebar. Bahagia atau tidak itu adalah pilihan. Kita yang menentukannya.”

Kebiasaan mendongeng itu kemudian juga menurun kepada saya. Saat Ayah sedang di luar kota, adik bungsu saya, Emir, yang masih berusia sembilan tahun, pasti meminta saya mendongeng untuknya. Tak jarang pula, jika saya dan Ayah sama-sama sedang di luar kota, Emir akan menelepon saya untuk mendongengkannya sebelum tidur melalui telepon.

Dongeng telah menjadi bagian penting dalam keluarga kami. Ayah pernah berkata bahwa dongeng adalah dunia ketika imajinasi boleh bergerak ke mana saja dalam ruang yang tak terbatas. Memberi ruang untuk dongeng itu penting karena ia menjadikan kita tetap “hidup” dalam dunia yang tidak selalu indah.

Tumbuh dewasa sering kali membuat kita merasa dongeng hanya omong kosong pelipur lara anak-anak. Namun, bagi saya dongeng tidak pernah jadi omong kosong. Ia akan selalu menjadi bagian penting dalam proses pertumbuhan saya menjadi seorang manusia yang utuh. Dongeng juga akan selalu menjadi ruang penghubung antara saya dan masa kecil, saya dan imajinasi, dan, lebih-lebih, saya dan Ayah.

Kemarin Ayah berulang tahun yang ke-51. Dan, ia masih mendongeng dengan beragam cara. Selamat ulang tahun, Ayah. Tidak ada yang lebih Kakak syukuri daripada terlahir sebagai anak Ayah dan hidup bersama dongeng Ayah hingga hari ini.

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 2

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.