Ilmu Pasar Ibu
Rutinitas mengikuti Ibu ke pasar setiap Minggu pagi merupakan hal yang paling kubenci sewaktu kecil. Aku kerap menggerutu ketika Ibu berusaha membangunkanku bakda subuh. Sialnya, usahanya itu selalu berhasil. Bagaimana tidak? Ancamannya adalah uang jajan yang dipotong atau ocehannya sepanjang hari yang secara implisit menyebutkan aku anak perempuan yang pemalas.
Ibu adalah golongan orang tua yang meyakini bahwa anak perempuan mesti pandai bercakap di pasar dan cekatan bertindak di dapur. Ibu kerap mengajariku cara memilih sayur yang layak dibeli. Ia kerap menghabiskan waktu lama untuk memilah mana tomat, cabai, atau bawang yang menurutnya unggul. Padahal, dalam sudut amatanku, semuanya sama. Bagiku kala itu, Ibu tidak pandai mengefektifkan waktu.
Puncak keresahanku ialah ketika proses tawar Ibu dengan pedagang sudah dimulai. Duh, ingin rasanya aku menutup telinga dan menyudahi adegan itu. Saat pedagang tidak mengiyakan tawaran Ibu, Ibu akan pergi begitu saja meski ia sudah menghabiskan waktu lama untuk memilah sayurnya. Pernah beberapa kali pedagang pasar berusaha mengejar Ibu seraya berteriak, “Pasnya berapa, Bu?” atau “Tambahin dua ribu lagi, deh, Bu.” Aku tak sampai hati melihat tontonan seperti itu. Jika selisih harganya jauh, bagiku wajar. Namun, kerap kali harga yang ditawar Ibu dengan harga yang diberikan oleh pedagang hanya berselisih seribu sampai lima ribu rupiah.
Satu-satunya bagian yang paling kusuka dari rutinitas pergi ke pasar bersama Ibu adalah pulang. Biasanya, kami pulang dengan becak langganan Ibu. Di atas becak, aku dengan bebas berimajinasi seraya menggerakkan tangan ke jalan seolah sedang merasakan angin. Meski ruang gerakku terbatas karena bersaing dengan belanjaan Ibu yang begitu banyak, aku tetap menobatkan naik becak menuju rumah sebagai bagian kesukaanku.
Rutinitas pergi ke pasar bersama Ibu terus berlangsung hingga aku mengenyam pendidikan SMA. Kala itu, aku punya banyak alasan untuk menolak Ibu, di antaranya banyak kegiatan kerja kelompok dan tugas praktik. Aku masih belum menyadari betapa berharganya ilmu pasar Ibu hingga aku berkuliah. Aku mesti indekos. Semuanya berubah. Segalanya kuurus sendiri. Aku mengurus baju kotorku sendiri. Aku mengurus makanku sendiri.
Singkat cerita, sewaktu kuliah, aku lebih banyak membeli masakan orang daripada menikmati masakan sendiri. Aku ternyata tidak mewarisi kepandaian Ibu dalam membeli bahan di pasar atau bahkan mengolahnya. Tak heran jika hari-hariku sewaktu kuliah dipenuhi dengan mi instan atau telur dadar. Pertobatanku dimulai ketika kudapati biaya makanku begitu membengkak. Aku mulai belajar memasak dan membeli bahan masakan di pasar yang memang lebih murah. Kendati sekarang aku masih membeli masakan orang, itu bukan karena aku tidak bisa memasak, melainkan karena tidak sempat.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 1
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.