“Aira?”

Dia menjatuhkan buku yang—biarkan kutebak—dibacanya sejak beberapa jam lalu. Aku ingat kebiasaannya dan buku-buku di tangannya. Berapa lama ia berkutat dengan buku dan duduk tanpa bergerak, atau mulai mencari air mineral yang disiapkan di dekatnya kalau dia sudah berganti dua bab setiap bukunya. Dan menggarisbawahi bagian-bagian yang penting dengan penggaris dan bolpoin.

Lelaki ini bangun dari duduknya dan mendekat ke arahku. Dengan memperhatikan matanya, aku melihat dia mengetahui bahwa aku melewati perjalanan semalaman yang melelahkan. Terlihat kantung mataku menghitam karena sengaja tidak tidur.

Tangannya menyentuhku perlahan. Aku memberikan senyuman. Kemudian kami menyatukan tubuh. Ia mencium keningku perlahan hingga ke pipiku, kanan dan kiri. Aku merasakan tubuhnya, pelukannya hangat seperti dulu. Pelukan yang selalu kurindukan.

Lama aku hanya bisa bermimpi berada di tempat ini, bertemu kembali dengannya. Tidak pernah ada yang memahami betapa aku tidak mudah melewati ini. Betapa inginnya aku lepas dari penjara yang kuciptakan sendiri. Aku tak pernah tahu bahwa aku akan menikmati duniaku sendiri dan membiarkan rinduku sendiri terbengkalai. Tapi kali ini, aku berdiri di sini, masih dalam pelukannya, erat saling memeluk. Masih ingin diciumi berkali-kali sampai habis tipis wajahku.

Pertemuan ini tidak akan pernah cukup.

“Aira ….”

Suaranya berat. Ia mengusap air mataku yang tiba-tiba tumpah. Usapan tangannya masih sama seperti dulu. Senyuman di raut wajahnya terlihat jelas. Tubuhnya tak sebesar dulu, tapi masih nyaman untuk dipeluk.

“Aira ….”

Dia memanggil namaku. Aku mengangguk, tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Kata-kata yang kusiapkan hilang. Aku sudah menyiapkan diriku untuk menghindari drama yang akan terjadi. Aku kalah. Melihatnya duduk dengan buku bacaan dari jauh bahkan menyakitkan hati. Ke mana saja aku? Mendengar suaranya pun aku kalah.

“Aira, capek, ya, Sayang?”

Lelaki ini menuntunku duduk, menggenggam erat tanganku. Matanya berbinar menatapku yang bengkak karena air mata yang keluar. Senyum masih menghiasi bibirnya yang menghitam karena rokok. Aku mencoba untuk berbicara meski sepatah dua patah kata.

“Aira sudah pulang. Aira sudah pulang,” katanya berkali-kali.

Segitu lamakah aku tidak pulang sampai membiarkan lelaki ini kegirangan melihatku sekarang?

Aku memeluknya lebih erat. Aku tidak ingin dipisahkan, tidak mau lagi melewatkan hidupku hanya dengan bermimpi.

“Aira kangen Ayah.”

Isakku memuncak. Tubuhku naik turun menyesuaikan irama. Tanganku menutup wajah yang basah. Lelaki ini, seperti biasa, meletakkan tangannya di punggungku dan itu lebih dari menenangkan, kebiasaan yang tidak kudapatkan semenjak aku pergi merantau dan tak bisa pulang.

Aku terlena dengan pekerjaanku dan mengutamakannya tanpa ingat bahwa ada yang menginginkan aku pulang sesekali. Mataku mengalihkan pandangan pada seragam kerja yang digantung di pintu kamar.

Ayah menyadari yang kulihat. Ia berkata, “Ayah sudah pensiun. Ayah sudah tua, ya?”

Kata maaf berulang-ulang bergema di kepalaku ketika aku mendengar pernyataannya. Maaf karena banyak hal terlewatkan. Kebahagiaan saat ini harus mulai kucicil pada hari tuanya. Aku ingin dia mengerti bahwa tidak ada yang lebih istimewa dari dia.

Biarkan aku memberikannya hari tua yang indah, sesuai mimpiku. Aku sampai lupa itu mimpi yang mana. Tidak ada lagi bayangan yang menggangguku dengan rasa bersalah. Terlalu lama aku pergi, membiarkan diriku tertidur dan menikmati mimpi berbeda setiap hari. Kini, aku akan membuatnya menjadi baru. Dengan kenyataan yang disajikan dalam secangkir kopi dan buku bacaan berbeda setiap hari.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.