Tidak akan pernah ada habisnya kalau aku menceritakan kehebatan Ayah, pahlawan dari seluruh pahlawan, setelah ibuku yang baik hati tentunya.

Aku merupakan anak pertama. Segala peran dan tanggung jawab yang aku emban tidak jadi momok menakutkan. Hidupku justru sudah disempurnakan sedari kecil dengan kasih sayang penuh, kebebasan berpendapat, pergaulan dengan banyak teman, dan pendidikan yang sangat baik. Semuanya diberikan oleh orang tuaku, khususnya Ayah.

Ayah suka membaca buku apa saja yang ada di lemari besarnya. Ia juga berlangganan majalah bulanan. Setiap bulan ada petugas yang mengantar majalah itu. Biasanya, kalau ada suara motor yang kuhafal betul berhenti di depan rumah, aku hanya perlu membukakan pagar, memanggil Ayah yang sedang berkutat dengan bukunya, dan kemudian pergi ke dapur membantu Ibu membuat teh manis untuk disuguhkan.

Saat perpisahan TK, aku dipercaya menjadi salah satu perwakilan murid untuk memberikan persembahan. Aku memilih membacakan puisi, salah satu hobi yang sampai sekarang masih kulakukan. Ayah membimbingku menulis puisi untuk acara itu yang bertema tentang guru.

Di luar itu, terkadang aku menulis puisi hingga selesai. Kemudian Ayah menjadi editornya. Ya, hampir sama seperti Mas Harrits dan Mbak Pire. Namun, Ayah sama sekali bukan pakar bahasa. Ia hanya peramu dan penikmat kata.

Ayah pindah tugas saat aku SD kelas II ke desa yang lumayan jauh dari rumah. Bukannya sedih, Ayah justru senang sekali karena tepat di samping kantornya ada perpustakaan daerah. Setiap istirahat, Ayah ke sana. Setelah kepindahannya ke kantor baru, sepulang kerja, Ayah selalu membawakanku buku-buku seperti Winnie the Pooh dan Tinkerbell. Ada juga buku bertopik asmaulhusna dan pengetahuan umum. Aku diberi jatah tiga hari untuk melahap buku yang dia bawa untuk kemudian ditukarkan dengan buku lainnya. Begitulah siklusnya.

Ketika masa SMP, aku tanpa ragu mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater. Ayah mendukung penuh. Katanya, teater itu baik untuk melatih kemampuan berbicara, mengingat, dan tampil di depan umum. Teater juga melatih mental kita. Ayah sendiri yang mengantarku berlatih setiap Minggu pagi pukul 08.00. Selain itu, beberapa kali aku mengikuti lomba menulis setelah mendapat informasi langsung dari Ayah meskipun saat itu belum mendapat hasil yang baik.

Pada masa SMA, aku harus jauh dari Ayah. Ia tetap tinggal di desa, sedangkan aku merantau ke Jakarta, sampai saat ini. Paling sering aku pulang satu tahun dua kali. Waktu itu aku mantap menjadi jurnalis majalah yayasan dan sekolah serta bergabung dengan OSIS pada bidang Apresiasi Seni dan Budaya, teater sekolah, dan paduan suara. Memang, aku mencintai seni dan menulis hingga tidak mau lepas dari dekapan mereka. Itu semua karena Ayah..

Di bangku kuliah, aku tetap mengikuti teater dan menjadi jurnalis kampus. Meski tidak aktif seperti waktu SMA, aku menikmatinya. Maklum saja, mahasiswa dengan kebutuhan yang banyak membuatku memilih pekerjaan paruh waktu sebagai pengajar karena lebih menggiurkan.

Sampai sekarang, semua itu menjadi film seru ketika kuputar kembali ingatanku, perihal apa yang kulihat, apa yang terasa, dan yang terjadi, tentang diriku yang dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi apik sesuai rencana Ayah.

Apa pun yang sudah Ayah ajarkan jadi senjataku setiap masa, jadi alasanku untuk sebuah keputusan. Seluruhnya yang telah aku baca jadi pemahaman. Tulisanku jadi cerita sebuah pengalaman. Terima kasih, Ayah, karena membentukku menjadi manusia keren seperti ini.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.