Sejak kecil, saya selalu tertarik untuk melakukan berbagai hal yang dilakukan orang lain. Ibu adalah seorang guru sekolah dasar (SD). Ia adalah guru yang aktif menjadi pembina dan menemani para siswa melakukan berbagai kegiatan, mulai dari pramuka, lomba olahraga, hingga berbagai lomba kesenian. Sebagai anak paling bungsu di keluarga, saya selalu menempel dengan Ibu. Saya sering ikut ke mana pun Ibu pergi. Oleh karena itulah, saya sering menyaksikan para siswa berlatih pramuka, berolahraga, membaca puisi, hingga menyanyi. Hal tersebut memicu rasa penasaran saya untuk mencoba hal-hal yang saya lihat tadi.

Waktu itu, saat saya masih TK, ada perlombaan 17 Agustus-an di kampung saya. Salah satu lombanya adalah menyanyi dangdut khusus anak-anak. Tanpa pikir panjang, saya didaftarkan oleh Ibu untuk mengikuti lomba tersebut. Saya menjadi juara pertama pada perlombaan itu. Memasuki sekolah dasar, terutama saat saya memasuki kelas tiga, Ibu mendaftarkan saya untuk ikut lomba membaca puisi tingkat kecamatan. Hal itu tentunya membuat saya sangat grogi. Bagaimana tidak? Saat itu saya masih kelas tiga SD, sementara saingan saya sudah kelas lima atau enam SD. Saat itu, Ibu melatih saya membaca puisi hampir setiap hari di rumah. Saat itu pula, saya mengetahui bahwa Ibu sangat mencintai puisi. Saya pertama kali dikenalkan Ibu pada puisi “Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bachtiar. Hasil latihan saya selama beberapa minggu itu membuahkan hasil, saya yang merupakan peserta termuda mendapatkan juara pertama membaca puisi tingkat kecamatan. Sejak saat itu, Ibu selalu mendaftarkan saya mengikuti lomba-lomba puisi, baik tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Sejak saat itu juga, saya mulai mencintai puisi. Seiring berjalannya waktu, Ibu melatih dan mengenalkan saya kepada sastrawan-sastrawan lainnya, seperti Sanusi Pane, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, dan W.S. Rendra. Hampir semua puisi yang saya bacakan saat itu adalah puisi perjuangan.

Bukan hanya puisi, Ibu juga mulai banyak melibatkan saya pada lomba-lomba menyanyi solo mewakili sekolah. Ibu juga senang menyanyi. Ia melatih saya hingga mengundang guru les menyanyi untuk melatih vokal saya. Hasilnya tidak sia-sia. Saya juga sering menjuarai lomba menyanyi sejak kecil. Bermula dari hal-hal itulah kemudian saya tumbuh menjadi orang yang selalu ingin mencoba hal baru. Saya mulai mengikuti ekstrakurikuler pramuka, olahraga, bahkan menari. Memasuki masa SMP, saya mengikuti hampir semua ekstrakurikuler dan organisasi yang ada di sekolah. Begitu pula saat SMA. Berbagai ekstrakurikuler yang saya ikuti antara lain adalah basket, pramuka, paskibra, band, rohis, karya ilmiah remaja, menari, teater, dan masih banyak lagi—yang saya pun lupa saking banyaknya.

Kini, saat saya sudah dewasa, kebiasaan itu seakan tidak pernah hilang. Saya selalu penasaran dan ingin belajar hal baru yang saya temui setiap harinya. Saya mulai belajar membuat video yang baik, membuat desain, atau sesepele belajar bermain skateboard. Belakangan saya merenungi apa yang saya lakukan ini tidak baik. Dalam beberapa hal yang saya lakukan, saya memang cukup berprestasi, tetapi dinamika perpindahan ketertarikan saya akan suatu hal terlalu cepat berganti sehingga saya bisa dengan mudah meninggalkan hobi saya sebelumnya demi hobi yang baru. Hal ini kadang menghantui saya dengan penyesalan-penyesalan. Coba saja kalau saya mampu memilih salah satu dari berbagai bidang yang pernah saya geluti tersebut, mungkin saya bisa menjadi sesuatu dari situ. Kini saya kebingungan sendiri karena rasanya sudah terlambat untuk memfokuskan diri pada hal yang pernah saya geluti tersebut.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.