Sebuah Catatan Kuliah yang Tidak Dipublikasikan (I)
Saat saya pertama kali menginjakkan kaki di kampus sebagai mahasiswa, saya dihadapkan pada suatu kemungkinan besar tentang kesempatan tak terbilang. Tidak ada jaminan bahwa saya akan menjadi salah satu manusia paling prominen di muka bumi, menjadi salah satu pahlawan penghancur misil alien, menjadi perempuan lajang di sebuah rumah penuh kucing, ataupun menjadi staf penyusun data penelitian.
Malam-malam berikutnya, setelah saya familier dengan lingkungan baru, saya bersepeda di boulevard—lengkap dengan angin sayup-sayup yang mengantarkan pekikan sekelompok pemain papan luncur di pelataran Fisipol. Yang saya ingat bukan bagaimana Cintaku di Kampus Biru sepenuhnya membangun gambaran imaji saya terhadap kampus ini, melainkan ucapan sayup-sayup ayah saya saat suatu kali saya mengatakan tak ingin kuliah.
“Pendidikan memberimu keleluasaan untuk memilih.”
Beliau secara taklangsung mengatakan bahwa hidup ini penuh pilihan. Oleh karena itu, langkah saya menyisiri Jalan Kaliurang untuk pertama kali demi menghadiri kuliah Dasar-Dasar Ilmu Budaya adalah suatu konsekuensi: bahwasanya kita mencintai ketidakpastian dan mengakrabinya sampai nanti.
Pilihan berikutnya mengantarkan saya ke suatu ruang sesak penuh mahasiswa: di kantor penelitian dekat bangunan kampus saya. Berjejalan di dalamnya para mahasiswa yang berusaha sebisa mungkin mencakup semua ilmu yang didaraskan seperti kidung pagi. Sejauh yang kami pahami, konsekuensi itu mencakup kehadiran minimal 75% dari keseluruhan jadwal kuliah, berlembar-lembar theoretical review, dan abstrak penelitian yang harus dikumpulkan pada pekan berikutnya. Jadi, tidak ada yang mengeluh.
Diagram pemisah landasan pemikir-pemikir teori sosial politik digambar dengan seadanya di papan tulis dan kami terlalu abai untuk sekadar menyalinnya ke buku. Kami lebih memilih mengeluarkan ponsel dan memotretnya dengan janji akan dibaca pada hari setelahnya.
“Jadi,” ucap dosen kami memulai perkuliahan. Ia berdeham di tempat duduknya setelah mengotori tangannya dengan bercak tinta. “Apa yang menurut kalian menjadi pemisah sekaligus pemersatu pemikir-pemikir itu? Mengapa pemikirannya kita pelajari bertahun-tahun kemudian? Bisakah kalian tunjukkan apa ciri distingtifnya?”
Pertanyaan tebang pilih itu membutuhkan pengamatan sederhana. Tak sampai satu menit, salah seorang dari kami berkata, “Self”. Yang ia maksud sebagai self umumnya tak sepenuhnya teraih dalam bahasa Indonesia sebagai diri. Dalam teori psikoanalisis, kami mengubek-ubek kecenderungan self dan bagaimana ia seharusnya diposisikan dalam kajian sastra. Jadi, semuanya tahu konsep tersebut merupakan isu umum yang kerap menyandung kami.
Persoalan mengenai bagaimana membedakan satu diri dengan yang lainnya, misalnya, tak jarang menjebak kami ke dalam perangkap berpikir yang banal. Jadi, kami juga tahu mengapa tak ada yang repot-repot menjelaskan pendapat kawan kami ini.
Selanjutnya, kami digiring untuk bertanya-tanya tentang apa yang sejatinya dimiliki oleh semua manusia. “Sebab,” dosen saya menambahkan, “Kita tahu ada yang tak terbahasakan—sesuatu yang nyata.”
Diam-diam saya berpikir. Mungkin jika kita bisa memberikan bahasa terdekat untuk meraup idenya, kata yang paling tepat adalah cinta.
Cinta tidak pernah bisa disampaikan melalui bahasa secara lengkap. Dengan demikian, ia tidak mudah teridentifikasi. Manusia mencari dan menemukan cinta dalam tataran terluarnya. Namun, di dalam diri, kita punya cinta yang senantiasa kita miliki. Cinta mengizinkan manusia mengalami berbagai tataran emosi: kebahagiaan, kegembiraan, bahkan hingga rasa kehilangan dan kedukaan.
Dosen saya lainnya pernah berkata, “Mengapa takut kehilangan?”
Bukankah hal yang bisa menjawab itu adalah adanya suatu perasaan memiliki, mencintai, dan mengasihi sehingga suatu kesempatan menjadi tak terlepaskan? Cinta juga yang memberanikan kita untuk memiliki dan menginginkan, tak peduli seberapa kuat hal itu kemudian berpengaruh kepada pengambilan keputusan. Bahkan, dalam beberapa literatur besar dunia, tempat kita bisa menemui tokoh-tokoh yang belum bisa berbahasa atau kesulitan mengekspresikan diri, cinta adalah esensi yang membuatnya tetap hidup. Kita mengira keberadaannya dan kita menyadari saat dada kita berdesir, tetapi sejujurnya kita bisa merasakannya di udara (“The feeling has always been there, but today it was buzzing in the air. ‘If I touched it’, he thinks, ‘I’d be electrified’.”).
Cinta mungkin menjadi sesuatu yang membuat kita bergairah. Namun, mungkin, cinta juga adalah selembut bujukan ayah saya saat suatu kali saya mengatakan tak ingin kuliah sebab pilihan baginya adalah suatu privilese dan lelaki itu mengantarkan saya ke jalan yang tak ia cecap sebelumnya.
Mungkin berbahasa adalah upaya kita untuk mencinta. Tidak pasti, tetapi tidak juga henti.
(Bersambung ke Sebuah Catatan Kuliah yang Tidak Dipublikasikan (II): Sebab Cinta yang Baik Adalah yang Tidak Selesai”)
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 2 / 5. Jumlah rating: 2
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.