Pada sebuah pagi kala mata baru terpejam sebentar, seorang perempuan bangun dengan penuh kalut. Ia tidak memiliki pilihan untuk tetap tidur karena matahari sudah menyambut. Biru pada langit menjadi tanda bahwa ia harus bergegas bekerja meski dirinya masih semrawut. Lantas, sama seperti hari-hari sebelumnya, ia meminum kopi panas tanpa takut.

Ia cukup lega ketika komponen otaknya langsung berfungsi usai kopi itu diseruput. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung tujuh jam sebab saat langit menjelang gelap ia merasa demam serta sakit pada kepala dan perut. Sekujur tubuhnya seperti meribut. Pada waktu-waktu berikutnya, kesakitan yang dirasanya itu terus berlanjut.

Satu hari pertama, kerjanya hanya diam berselimut. Dingin yang dirasa pada pembatas malam menjelang pagi begitu menusuk tubuhnya yang berselaput. Satu hari berikutnya, pikirannya makin acakadut. Sempat beberapa kali, dalam tidurnya, ia merasa nadinya tak lagi berdenyut. Sempat juga beberapa kali, ia berpasrah kalau-kalau ajal hendak menjemput. Pada hari ketiga, ia dipaksa ke rumah sakit dan ia menurut.

Saat dinyatakan oleh dokter harus menjalani serangkaian pemeriksaan, ia tidak terkejut. Namun, bukan berarti ia dan orang-orang di sekelilingnya tidak kalang kabut. Tiap ada jarum suntik masuk ke pembuluh darahnya, nyalinya langsung ciut. Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium atas dirinya acapkali membuatnya kecut.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama ia merasakan sakit yang berlarut-larut. Dua tahun sebelumnya, ia pun nyaris sakratulmaut. Penyebabnya sama: kopi yang masuk ke mulut. Ia masih saja menyangkal bahwa meminum kopi dan merasakan sakit ialah dua hal yang bersangkut paut. Padahal, orang-orang baik di sekelilingnya berulang kali mengingatkannya dengan lembut.

Hidup setelahnya dijalani dengan harapan yang bergelayut. Namun, ia tetap bersemangat bangun pagi dan menelan obat berturut-turut. Sesekali ia bersenandung, “Bun, hidup berjalan seperti bajingan,” dengan pikiran yang kian karut-marut. Jika pada suatu hari ia mesti berpulang, ia berutang terima kasih pada orang-orang baik karena kiriman doa mereka yang tidak pernah luput.

 

Penulis          : Dessy Irawan

Penyunting   : Shafira Deiktya

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 4.9 / 5. Jumlah rating: 7

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.