Udara pagi ini terasa sayu seperti pertemuan kita yang lalu. Sinar surya belum muncul. Di taman belakang rumah kita hanya ada suara jangkrik dan sayup-sayup ayam jantan berkokok dari kejauhan. Aku bergerak menuju rerumputan. Biasanya, kau yang akan memapahku karena aku selalu enggan menginjakkan kakiku di rerumputan yang basah. Bagiku, rerumputan itu becek dan menyebalkan. Tapi, kau selalu suka mereka. Kau akan memaksaku menginjaknya. Kau bilang, “Kau harus tahu betapa menyenangkannya menyambut hari dengan menyentuh rumput yang lembap.” Lalu, aku akan menjawab dengan menggerutu, “Ini bukan lembap. Ini basah. Kau harus lihat definisi lembap di kamus.” Kau akan tertawa menggodaku yang terlalu kaku. Membuatku tak kuasa merawat kesalku padamu.

Biasanya, setelah berhasil memaksaku menyentuh rerumputan, kau akan mengajakku menari dan meloncat-loncat seperti anak kecil yang diizinkan bermain hujan. Sadarkah kau, hanya kau yang mampu membuatku mengikuti setiap pintamu.

Taman belakang yang syahdu itu terasa menyesakkan hari ini. Sekarang, aku benci rerumputan itu bukan hanya karena dia basah, tetapi karena ada kau di setiap sentuhannya.

Aku bergegas masuk ke rumah, mencari perlindungan dari sesak yang tak kunjung mereda. Aku memandangi seisi rumah, menyentuh satu demi satu barang yang ada. Aku berani bertaruh sidik jarimu pernah singgah di setiap barang itu.

Mataku tertuju pada arloji tua yang kita temukan saat sedang menanam pohon mangga di depan rumah. Kaubilang arloji itu antik. Kau mengambilnya dari tanah dan membersihkannya dengan telaten. Seminggu kemudian, kaubilang bahwa kau punya hadiah untukku. Kauberikan arloji itu—lengkap dengan namaku yang kauukir dengan tanganmu sendiri. Aku sontak memelukmu, mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh. Kau mengelus-elus kepalaku dengan senyum mengembang yang terasa di bahuku. Kau selalu saja begitu. Kau selalu punya cara untuk membuat hal-hal sederhana di sekitar kita menjadi berharga.

Tanpa kusadari pelupuk mataku basah. Rasanya aneh. Aku berpaling dari arloji tua sialan itu. Aku telah berjanji tidak akan menangis lagi—apalagi tentangmu.

Aku kemudian menemukan diriku duduk tak berdaya di depan piano tua peninggalan Mama. Piano ini adalah sahabat baik kita. Mama hobi memainkannya dan kita akan dengan senang hati mendengarkan suara Mama yang merdu lengkap dengan denting piano yang syahdu. Di ujung piano, Mama meletakkan foto kita saat berlibur ke pantai untuk pertama kalinya. Kau dan aku duduk manis, tersenyum melihat Mama yang memegang kamera.

Lucunya, dua puluh tahun kemudian, kita kembali ke pantai itu. Aku ingat, sebelum kita berpisah di sudut jalan malam itu, kau bertanya sesuatu yang tak bisa aku jawab. Dengan wajah tertunduk, kau menunggu jawabanku hingga malam makin larut. Sayang, tak ada satu pun kata yang berhasil lolos menjadi suara dari bibirku. Aku hanya bisa menunduk sepertimu. Memandangi kedua pasang kaki kita yang terbenam di pasir yang dingin. Senyap. Hanya suara deburan ombak yang menjadi perantara ucapan selamat tinggal yang tak kuasa kita lantunkan.

Setelah itu, kau dan aku pergi. Menyisakan segala yang tak terjawab kepada sepanjang pasir di pantai yang kita telusuri. Kita biarkan telapak kaki kita hilang disapu ombak. Kita biarkan pantai itu sekali lagi menanggung segala yang tak terjawab.

Di persimpangan jalan terakhir, kau menatapku dengan mata yang sembap. Aku tak kuasa menatapmu. Aku segera berbalik meninggalkanmu. Hal terakhir yang aku dengar adalah teriakanmu yang tak terucapkan melalui suara, tetapi melalui tatap yang bersimbah air mata. Ia menggema dan menusukku dalam senyap. Aku berlari karena tak kuasa.

Di ujung jalan itu, tanpa kau tahu, aku terjatuh. Aku berteriak memanggil Mama. Aku telah gagal menjagamu. Dan malam itu, aku juga gagal menjaga segala janji kita.

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 0 / 5. Jumlah rating: 0

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.