Bagaimana Bisa?
Pertemuan pertama kami tidak spesial. Jantungku tidak berdebar. Kami hanya saling melihat. Bahkan, aku tidak tahu nama depannya, apalagi nama belakangnya. Dari gelagatnya, kuasumsikan ia tidak peduli dengan kehadiranku sebab aku pun begitu.
Pada hari kedua kami bertemu, ia mulai menghampiri. Kupastikan, itu bukanlah wujud keberaniannya, melainkan keharusannya mengembalikan barangku yang tertinggal di kantornya. Aku malu bukan main. Bagaimana bisa aku mempertontonkan kecerobohanku kepada orang asing?
Kala itu aku tidak mempertanyakan, kenapa dari sekian banyak orang, harus ia yang mengembalikan barangku. Aku terlalu larut dengan rasa malu. Dua hari setelahnya, ia berhasil mencuri perhatianku oleh sebab perkara penulisan di yang dipisah dan di- yang dirangkai. Ia berguyon. Beginilah bunyinya.
Apa bedanya dimana dengan kita?
Di mana mestinya dipisah, kita tidak boleh dipisah.
Aku bisa melihat guyonannya itu karena salah seorang rekan kerjanya menandai akun Instagramku. Meski guyonannya begitu receh, aku tetap memberi apresiasi dengan mengirim ulang cerita Instagram temannya itu. Berawal dari apresiasi itu, akunnya hinggap di kotak masukku.
Awalnya, aku menduga itu hanya akan terjadi sebentar. Namun, ternyata, itu menjadi rutinitas yang kutunggu-tunggu setiap pagi, setiap siang, setiap sore, bahkan sampai waktu tidur menjelang. Sejak saat itu, aku jadi tahu nama depannya, nama belakangnya, berikut dengan alasan pemberian namanya.
Waktu berlalu. Pertemuan ketiga kami pun tiba. Kami tidak berkencan. Jelas itu bukanlah pertemuan ideal untuk dua orang yang ingin saling mengenal. Aku ingin makan di sebuah tempat favoritku di Depok, tetapi urung karena tempatnya tutup. Alhasil, kami hanya menyusuri jalan Depok hingga Sentul.
Kami makan hanya karena terpaksa. Perut mesti diisi agar asam lambung tidak berulah. Pilihan kami jatuh pada warung makan biasa yang terletak di pinggir jalan. Sampai sekarang, aku bahkan masih mencari di mana letak keromantisan pertemuan ketiga kami itu.
Waktu berlalu dan kami makin menyatu. Dari semua percakapan kami, baik versi tulis maupun lisan, ia bilang kami seperti kawan lama. Kuduga, sebelum kami memulai untuk saling tahu, sepertinya hati kami sudah lebih dulu bertemu.
Setelah dipikir-pikir, ia juga mulai berani menggantikan posisi Ayah. Sebelum mengenalnya, setiap aku mengalami kebuntuan menulis swalatih, Ayahlah yang menjadi sumber inspirasiku. Namun, dialah yang kini kuceritakan dalam tulisan yang sudah melewati tenggat pengumpulan. Semoga Ayah tidak cemburu.
Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?
Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 6
Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.