Semasa mengenyam pendidikan TK hingga SMP, Ayah tidak pernah absen mengantarku ke sekolah. Bagiku, semuanya berjalan biasa-biasa saja sampai suatu ketika Ayah mengajariku mengendarai sepeda motor. Seingatku, tidak sampai sebulan aku sudah lancar mempraktikkan hal-hal yang Ayah ajarkan. Ayah bilang, aku mesti mandiri karena ia tidak bisa selamanya mengantarku. Aku menganggap itu gurauan. Sebaliknya, Ayah menganggap itu adalah cara untuk mengenalkanku kepada kemandirian.

Ayah berhasil sebab dua bulan setelahnya—saat kelas 3 SMP, aku tidak lagi diantar dan dijemput. Namun, kemandirian itu hanya berlangsung selama setahun enam bulan. Saat berada pada kelas 1 SMA, aku mengalami kecelakaan hebat. Gigiku patah sampai ke akar-akarnya. Gusiku robek begitu lebar. Wajah dan sekujur tubuhku penuh dengan luka. Singkat cerita, aku mengalami pendarahan. Oleh sebab itu, aku mesti menjalani rangkaian operasi. Satu bulan dirawat, satu tahun mengalami trauma tidak berani berkendara sendiri. Ayah kembali mesti mengantarku ke mana-mana.

Suatu hari Ayah sakit, sedangkan aku harus tetap pergi ke sekolah karena sedang masa ujian. Dahulu, ojek daring belum ada. Opsi selain mengendarai motor sendiri ialah naik kendaraan umum, tetapi sudah pasti aku akan telat karena waktu tempuh mengikuti jalur kendaraan umum ialah satu jam. Tanpa berpikir panjang, aku mengendari motorku sendiri dengan waktu tempuh yang hanya tiga puluh menit. Sesampainya di tempat parkir sekolah, aku berdiam sebentar untuk mencari rasa traumaku. Semoga saja ia sudah hilang, pikirku.

Kondisi sakitnya Ayah berlangsung selama dua minggu. Itu berarti selama dua minggu juga aku berhasil berangkat ke sekolah sendiri. Pada sore saat kondisinya sudah membaik, aku bergurau, “Ayah sengaja, ya, biar Ayah enggak antar jemput aku lagi?” Gurauanku itu dijawab serius. “De, kamu enggak tahu seberapa lama lagi Ayah bisa nemenin kamu. Itu yang namanya rahasia Ilahi. Tugas Ayah, ya, bikin kamu siap.”

“Ayah itu cuma titipan. Kalau suatu saat Ayah diambil sama Tuhan, kamu enggak boleh marah,” lanjut Ayah. Lantas, aku hanya diam sebab malu kalau menangis haru. Ayah pun diam dan aku tidak berusaha menebak apa yang ia pikirkan saat itu. Setahun setelahnya, aku punya pacar yang rajin menjemputku sebelum ke sekolah dan mengantarku pulang ke rumah. Selama sebulan, kondisi itu berlangsung tenteram sampai suatu ketika Ayah bertanya, “Motor kamu rusak?”

Ayahku bukan ahli satire, tetapi saat itu ia mampu memainkan perannya dengan teknik menyindir halus. Aku lantas bersikap lugu dan bertanya balik, “Enggak. Kenapa, Yah?” Keluguanku tidak mempan sebab Ayah membalasku dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh siapa pun orang di dunia. “Kamu bisa jamin kalau selama-lamanya dia akan jadi pasangan kamu?” tanya Ayah. Pertanyaan pemungkas itulah yang lantas membuatku mengirim pesan singkat kepada ia yang sekarang sudah menjadi mantan. “Besok enggak usah jemput, ya. Kita ketemu di sekolah aja,” tulisku.

Bagi Ayah, bergantung itu candu. Pun kalau mesti bergantung, bergantunglah pada Sang Pencipta. Pernyataan itu juga yang membuatku jarang mengadu lagi kepada Ayah. Apalagi ketika berkuliah dan tinggal jauh dari rumah, kepadanya aku hanya mengabarkan hal-hal baik versiku atau hanya menagih transferan yang kubutuh. Ketika sakit, ketika putus, ketika punya masalah, bahkan ketika kecelakaan, aku tidak mengabari Ayah sebab aku tahu doa baiknya tiada pernah putus.

Ayahku benar. Kita tidak bisa menjamin selama-lamanya seseorang akan ada untuk kita. Hidup kita saja hanya sementara, ‘kan?

 

 

 

Berapa banyak hati yang kamu mau berikan untuk tulisan ini?

Rating rata-rata: 5 / 5. Jumlah rating: 3

Jadilah yang pertama untuk memberi rating pada tulisan ini.